MPR: Amendemen UUD 1945 Bukan Untuk Menambah Masa Jabatan Presiden

Pool/BiroPemberitaanParlemen
Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan pidato pengantar dalam rangka Sidang Bersama DPR-DPD di Ruang Rapat Paripurna, Komplek Parlemen, Jakarta, Jumat (14/8/2020).
13/9/2021, 18.17 WIB

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menegaskan amendemen UUD 1945 hanya akan  dilakukan untuk mengembalikan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), bukan menggulirkan ide jabatan presiden tiga periode.

Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan wacana penambahan masa jabatan presiden hingga tiga periode lebih banyak kerugiannya ketimbang manfaat. Ia juga menegaskan MPR tidak pernah melakukan pembahasan mengenai masa jabatan presiden tersebut. 

"Pilihan dua periode sudah tepat. Tetapi apakah amendemen perlu? Perlu. Tapi tak diarahkan ke penambahan masa jabatan," kata politisi yang akrab disapa Bamsoet, dalam diskusi yang digelar PP Muhammadiyah, Senin (13/9).

Bamsoet merinci pimpinan Badan Pengkajian MPR telah merekomendasikan bentuk hukum PPHN pada 17 Januari 2021. Nantinya, PPHN bisa ditetapkan lewat sejumlah alternatif payung hukum. Baik melalui Ketetapan (TAP) MPR, amendemen pasal di UUD 1945, atau cukup lewat undang-undang. Ia sendiri berpendapat PPHN idealnya ditetapkan melalui TAP MPR. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan dengan amendemen UUD 1945 dengan menambah kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN. 

"Saya nilai bangsa ini perlu arah, perlu bintang pengarah agar kita tak selalu ganti pemimpin ganti haluan. Sehingga kita enggak pernah maju-maju seperti poco-poco," kata Bamsoet.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini menegaskan baik Presiden, DPR, DPD, MPR, dan partai politik seharusnya dengan tegas menolak wacana Presiden tiga periode. 

"Faktanya teks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga bisa diubah di tengah koalisi mayoritas saat ini," kata Titi, Senin (13/9). 

Titi juga mengemukakan bahwa masa jabatan presiden 5 tahun atau maksimal dua periode merupakan buah dari refleksi mendalam atas perjalanan sejarah kepemimpinan politik Indonesia. Ia menilai masa jabatan maksimal 10 tahun cocok dengan kultur politik di Tanah Air, yakni tidak terlalu pendek bagi presiden untuk bekerja dalam memenuhi janji-janji kampanyenya. Namun, juga tidak terlalu lama untuk memberi kesempatan bagi rakyat untuk menilai kinerja dan kepemimpinan presiden yang menjabat apakah layak untuk terus berkuasa ataukah diganti sosok yang lebih tepat.

Sementara itu, masa jabatan tiga periode merupakan bentuk nyata multiple barriers to entry dalam politik dan pemilu Indonesia. Menurutnya, hal itu melemahkan regenerasi politik, bahkan makin menghambat kader partai dan warga negara, khususnya kelompok muda dan perempuan, untuk terlibat mengakses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Selain itu, lanjut Titi, akan memperburuk politik dinasti/kekerabatan, baik dalam konteks politik nasional maupun lokal. Masalahnya, masa jabatan yang sangat lama kemungkinan besar untuk mengokohkan kekuatan politik dalam semua lini.