Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim MK mengacu pada UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara garis besar, prosedur pembentukan UU mencakup lima tahapan; pengajuan rancangan, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, persetujuan bersama, pengesahan, dan pengundangan. 

Salah satu dalil pemohon yang dipertimbangkan MK terkait dengan ketidakjelasan apakah UU Cipta Kerja berupa UU baru, UU Perubahan, atau UU pencabutan. Majelis Hakim menyebut substansi terbesar dalam UU Cipta Kerja merupakan perubahan terhadap sejumlah undang-undang. Setidaknya ada 77 undang-undang perubahan dan 1 UU pencabutan yang termaktub dalam UU Ciptakerja.  

Jika Mengacu pada UU No. 12 tahun 2011, baik UU perubahan maupun UU pencabutan tidak harus disertai kata ‘perubahan’ dan ‘pencabutan’. Inilah yang tidak ada di judul UU Cipta Kerja sehingga dianggap tidak memenuhi standar baku. 

“UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru,” tulis Majelis Hakim. 

Majelis Hakim juga membantah keterangan pemerintah soal apakah metode omnibus law dikenal dalam hukum Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah mengacu pada UU no.32 tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan UU no.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Majelis menyebut karakter omnibus law UU Cipta Kerja berbeda dengan kedua UU yang didalilkan pemerintah. 

"Hal tersebut terlihat dari jumlah UU yang dilakukan penyederhanaan yaitu berjumlah 78 UU dengan materi muatan yang saling berbeda satu sama lain,” tulis Majelis Hakim. 

Selanjutnya, Majelis Hakim juga menyebut ada perubahan pengutipan dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Ini misalnya terkait dengan ketentuan minyak dan gas serta kebijakan fiskal nasional.

“Terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” tulis Majelis Hakim. 

Atas dalil tersebut MK kemudian memberikan kesempatan pemerintah dan DPR merevisi UU Cipta Kerja hingga dua tahun ke depan. Ketua MK Anwar Usman menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai perbaikan dilakukan.

"[UU Cipta Kerja] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'," katanya, Kamis (25/11).

Lebih lanjut, MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK. Apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.



Reporter: Nuhansa Mikrefin