Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat. Namun, putusan atas gugatan UU Cipta Kerja ini sebenarnya tidak bulat karena ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari empat hakim.
Pakar hukum tata negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti menilai putusan ini memperlihatkan bahwa MK tak hanya mempertimbangkan aspek hukum, tetapi juga politik. Putusan inkonstitusional bersyarat dinilai jalan tengah yang menimbulkan kebingungan.
"Karena bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan," ujar Bivitri melalui keterangan resminya.
Ia menjelaskan, inkonstitusional yang disebut MK dalam putusan ini hanyalah prosesnya, sedangkan UU Cipta Kerja tetap konstitusional dan tetap berlaku. Ia menyebut putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan tidak memungkinkan lagi adanya penolakan terhadap permohonan uji formil setelah ini. Hal ini karena segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan.
Menurut dia, putusan inkonstitusional bersyarat menunjukkan pertimbangan MK tak hanya pada aspek hukum, tetapi juga politik. Ia pun menyarankan pemerintah dan DPR mempelajari seluruh pertimbangan MK sehingga semua asas pembentukan sesuai UU PPP dipenuhi secara substantif dalam proses revisi UU Cipta Kerja. "Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini," ujar Bivitri.
Ada empat hakim konsitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Pendapat berbeda pertama diajukan dua hakim, Arief Hidayat dan Anwar Usman. Keduanya menyatakan tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode omnibus law meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Arief Hidayat dan Anwar Usman, penggunaan pembentukan undang-undang melalui metode omnibus law boleh dilakukan tanpa memasukkannya terlebih dahulu ke dalam ketentuan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Baik Arief Hidayat maupun Anwar Usman berpendapat, ada materi muatan dalam UU Ciptaker yang perlu dikabulkan, terutama ihwal hukum ketenagakerjaan.
"Hal ini berkaitan erat dengan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fullfil) hak konstitusional buruh, yakni terkait dengan upah, pesangon, outsourcing, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)," kata hakim konstitusi.
Pendapat berbeda kedua diajukan oleh hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat bahwa sepanjang sejarah berdirinya MK, belum terdapat adanya penilaian yuridis terkait dengan metode apa yang baku dan bersesuaian dengan UUD 1945.
"Artinya, metode lain dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk metode omnibus, dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional manakala dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan berhukum," kata hakim konsitusi.
Baik Manahan Sitompul maupun Daniel Yusmic mengatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja telah dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik sesuai dengan ketentuan Pasal 88 dan Pasal 96 UU No. 12/2011
Mahkamah menyatakan UU a quo adalah konstitusional karena UU No. 12/2011 sama sekali tidak mengatur metode omnibus walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan. "Di sisi yang lain Mahkamah seharusnya tidak menutup mata adanya obesitas regulasi di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang-tindih sehingga menciptakan egosektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya," ujar hakim konsitusi.