Jalan Panjang RI Kuasai FIR Seluas 249.575 Km Persegi dari Singapura
Indonesia berhasil mengambil alih ruang udara seluas hampir 250 ribu km persegi dari Singapura melalui perjanjian Flight Information Region atau FIR. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan keberhasilan ini bukan perkara mudah, melainkan upaya selama puluhan tahun.
“Sudah dilakukan sejak 1995, dan terakhir pak Presiden pada masa awal kepemimpinan memerintahkan kepada kami untuk melakukannya,” kata Budi dalam webinar bertajuk ‘Menakar Perjanjian FIR Indonesia-Singapura, Bermanfaatkah bagi Indonesia?’, Minggu (6/2).
Budi bercerita bahwa selain memakan waktu yang lama, pertemuan antara kedua negara juga cukup panjang. Terhitung sekitar 40 kali pertemuan antara Indonesia dan Singapura. Bahkan pembahasan atau negosiasi FIR sempat mencapai titik alot.
Keberhasilan Indonesia menguasai ruang udara seluas 249.575 km2 tersebut sekaligus mengakhiri status quo atas Kepulauan Riau dan Natuna. Selama ini, setiap pesawat Indonesia yang terbang ke dua daerah itu harus melapor ke Singapura kendati Natuna dan Kepulauan Riau berada di wilayah Indonesia.
Namun setelah perjanjian kedua negara mengenai FIR disepakati, Budi mengatakan ada sejumlah pekerjaan berat yang selanjutnya harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pengamatan komprehensif menjadi kunci terutama ketika membahas masalah teknis. Baik itu mengenai keselamatan, kepatuhan standar penerbangan internasional dan lain sebagainya. "Sebagai contoh, Brunei Darussalam yang masuk ke dalam FIR Malaysia. Brunei tidak punya kendali untuk itu," ujarnya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan, FIR Realignment membahas pengelolaan ruang udara yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer.
Menurut dia, nota kesepahaman atau MoU Indonesia - Singapura membuka keuntungan lebih besar bagi Nusantara dalam hal pengendalian ruang udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Ia pun memerinci keuntungan yang diperoleh Indonesia dari perjanjian.
Dari aspek keselamatan penerbangan Indonesia apat menghindari fragmentasi/segmentasi layanan, teknis operasional seperti pengaturan inbound/outbond flow traffic, jalur penerbangan hingga efisiensi pergerakan, serta kepatuhan standary ICAO (Annex 11 dan resolusi ICAO Assembly ke 40).
Kemudian dari segi dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan pemerintah Indonesia, apabila pesawat take off dan landing di batas terluar wilayah Tanah Air, nantinya diplomatic clearance dikeluarkan oleh Indonesia.
Selain itu, pesawat Indonesia tak perlu izin dari negara lain saat patroli. “Dengan demikian, keselamatan dan kerahasiaan bisa ditangani Indonesia sendiri,” ujar Novie.
Sedangkan dari sisi ekonomi, Indonesia akan menikmati tambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.
Selain itu perjanjian ini berpotensi menciptakan kerja sama sipil-militer di air traffic management Indonesia dan Singapura, serta penempatan personil di Singapore ATC Centre 5. Indonesia juga memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional.