Faisal Basri, Din Syamsuddin dkk Buat Petisi Tolak Pemindahan Ibu Kota

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wsj.
Sejumlah mobil melintas di jalan kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (6/2/2022).
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
11/2/2022, 14.26 WIB

Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Selasa (18/1) lalu. Aturan ini menjadi legalitas dalam pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Belum sebulan dari lahirnya aturan tersebut, petisi penolakan pemindahan ibu kota muncul dari beberapa tokoh masyarakat. Petisi datang dari Narasi Institute bersama dengan 45 tokoh lainnya.

Para tokoh yang mengajukan petisi ini di antaranya ekonom senior Faisal Basri, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Berdasarkan pantauan Katadata dari laman change.org, hingga pukul 14.25 WIB petisi tersebut sudah ditandatangani 26.356 orang dari target 35.000 tanda tangan.

Para inisiator menyampaikan beberapa alasan penolakan pemindahan ibu kota negara. Alasan utama, pemindahan ibu kota di tengah pandemi Covid-19 dianggap tidak tepat dan tidak memiliki urgensi.

Saat ini pemerintah dianggap harus fokus menangani varian omicron yang membutuhkan dana besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu kondisi masyarakat saat ini juga sedang kesulitan secara ekonomi akibat pandemi Covid-19.

"Saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBN besar diatas 3% dan pendapatan negara yang turun," tulis petisi tersebut.

Mereka menyebut Presiden Joko Widodo tidak bijak jika memaksakan kondisi keuangan negara untuk memindahkan Ibu Kota. Beberapa daerah juga membutuhkan perhatian seperti infrastruktur dasar yang masih buruk seperti sekolah dan beberapa jembatan desa yang rusak dan terabaikan.

Lokasi yang dipilih juga disebut berpotensi menghapus pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan akibat pengelolaan tambang batubara. Saat ini tercatat ada 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalil lain yang disampaikan dalam petisi tersebut adalah terkait penyusunan naskah akademik pembangunan IKN yang dinilai tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif. Naskah pembangunan IKN disebut tidak memperhatikan dampak lingkungan, daya dukung pembiayaan hingga keadaan geologi dan geostrategis ditengah pandemi.

"Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik," tulis petisi tersebut.

Ekonom Faisal Basri sebelumnya memang menyatakan rencana mengajukan uji materi UU IKN, selain membuat petisi. Namun saat itu dia tak memaparkan secara detail poin apa yang akan disampaikan dalam gugatan tersebut.

Selain itu, Faisal juga mengkritik nama Nusantara yang menjadi nama IKN. Bahkan Faisal menyebut ia bersama beberapa rekannya saat itu sedang menyiapkan petisi menolak Nusantara menjadi nama IKN.

Faisal mendesak agar pemindahan ibu kota baru menggunakan konsep yang komprehensif. Pemilihan nama Nusantara pada IKN disebut justru mengeciilkan arti dari nusantara.

"Saya tidak anti pemindahan ibu kota tapi perlu ada persiapan rencana induk yang bagus melibatkan masyarakat," kata Faisal.

Adapun saat ini pemerintah sedang menyiapkan peraturan turunan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Beleid turunan itu akan mengatur segala aspek teknis pendukung IKN. Beberapa di antaranya seperti pelaksanaan pembangunan fisik, pendanaan, tata pengelolaan pemerintahan, masa transisi, dan pentahapan relokasi.

"Soal pemindahan juga akan didetailkan secara teknis dalam peraturan turunan tersebut," ujar Deputi I Kepala Staf Kepresidenan RI Febry Calvin Tetelepta, beberapa waktu lalu.

Reporter: Nuhansa Mikrefin