Kantor Staf Presiden Pertimbangkan Petisi Tolak Pindah Ibu Kota Negara
Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) menuai pro dan kontra. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Wandy Tuturoong mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan petisi penolakan pemindahan IKN.
"Iya semua pandangan tentu dipertimbangkan. Yang pro dan yang kontra," kata Wandy saat dihubungi Katadata, Jumat (11/2).
Namun, pihaknya juga mempertimbangkan pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mendukung pemindahan IKN.
"Bahkan sudah mulai membangun kantor di sana," ujar dia.
Selain itu, dukungan dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah juga menjadi pertimbangan pemerintah.
Sebagaimana diketahui, petisi penolakan pemindahan ibu kota muncul dari beberapa tokoh masyarakat. Petisi datang dari Narasi Institute bersama dengan 45 tokoh lainnya.
Para tokoh yang mengajukan petisi ini di antaranya ekonom senior Faisal Basri, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Berdasarkan pantauan Katadata dari laman change.org, hingga pukul 18.23 WIB petisi tersebut sudah ditandatangani 27.089 orang dari target 35.000 tanda tangan.
Para inisiator menyampaikan beberapa alasan penolakan pemindahan ibu kota negara.
Alasan utama, pemindahan ibu kota di tengah pandemi Covid-19 dianggap tidak tepat dan tidak memiliki urgensi.
Saat ini pemerintah dianggap harus fokus menangani varian Omicron yang membutuhkan dana besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Selain itu kondisi masyarakat saat ini juga sedang kesulitan secara ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBN besar diatas 3% dan pendapatan negara yang turun," tulis petisi tersebut. Mereka menyebut Presiden Joko Widodo tidak bijak jika memaksakan kondisi keuangan negara untuk memindahkan Ibu Kota.
Beberapa daerah juga membutuhkan perhatian seperti infrastruktur dasar yang masih buruk seperti sekolah dan beberapa jembatan desa yang rusak dan terabaikan.
Lokasi yang dipilih juga disebut berpotensi menghapus pertanggungjawaban perusahaan atas kerusakan akibat pengelolaan tambang batubara.
Saat ini tercatat ada 73.584 hektare konsesi tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.
Dalil lain yang disampaikan dalam petisi tersebut adalah terkait penyusunan naskah akademik pembangunan IKN yang dinilai tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif.
Naskah pembangunan IKN disebut tidak memperhatikan dampak lingkungan, daya dukung pembiayaan hingga keadaan geologi dan geostrategis di tengah pandemi.
"Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik," tulis petisi tersebut.