Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput paksa mantan Gubernur Riau Annas Maamun (AM) dari kediamannya di Pekanbaru, Riau, Rabu (30/3).
Pemanggilan paksa ini dilakukan karena Annas dianggap penyidik KPK tidak kooperatif memenuhi panggilan pemeriksaan.
"Pemanggilan terhadap yang bersangkutan sebelumnya telah dilakukan secara patut dan sah menurut hukum," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta.
Menurutnya, Annas saat ini sudah tiba di Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan penyidik. "Berikutnya AM dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan lanjutan."
Meski begitu, Ali belum menjelaskan secara rinci alasan pemanggilan ini. "Perkembangan akan diinfokan," ucapnya.
Sebelumnya, Annas diketahui mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (24/3).
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, Annas menjadi pemohon dari gugatan dengan nomor perkara 21/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL. Termohon gugatan ini adalah KPK.
Annas meminta praperadilan untuk memutuskan status penetapan tersangka terhadapnya sah atau tidak.
Dalam petitumnya, Annas memohon agar majelis hakim
menerima permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan status tersangka terhadap pemohon yang ditetapkan KPK tidak sah menurut hukum,
menyatakan status tersangka yang ditetapkan KPK tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, serta
menyatakan status tersangka yang ditetapkan KPK batal demi hukum.
Annas pun meminta jika hakim praperadilan memiliki pendapat lain, agar tetap memberikan keputusan dengan mengedepankan rasa keadilan. "Mohon kiranya memberikan rasa keadilan terhadap Pemohon yang telah tua-renta kini telah berusia 82 tahun (ex aequo et bono)," tulisnya dalam petitum.
Untuk diketahui, Annas merupakan terpidana kasus korupsi terkait alih fungsi lahan di Provinsi Riau. Dia telah menjalani hukuman dan dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung pada 21 September 2020.
Sebelumnya pada 2015, Annas mendapatkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan dari Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung.
Ia terbukti bersalah dalam korupsi alih fungsi lahan yang merugikan negara Rp 5 miliar.
Annas kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak kasasi dan justru memperberat masa hukumannya menjadi 7 tahun penjara.
Namun pada 2019, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Annas berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara 7 tahun menjadi 6 tahun.
Annas menjadi tahanan sejak 25 September 2014 saat terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK.
Di persidangan, Annas terbukti menerima suap 166,100 Dolar AS dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut, untuk memasukkan areal kebun sawit seluas 2.522 hektar di 3 kabupaten, ke dalam surat revisi luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Selain itu, Annas juga terbukti menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung, terkait pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.
Namun, Annas tidak terbukti melakukan dakwaan ketiga, yaitu menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk mata uang Dolar Singapura, dari Surya Damadi melalui Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT Darmex Agro, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau. Perusahaan ini bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit.