Isu big data terkait wacana penundaan Pemilihan Umum 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat setelah terjadi percakapan antara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Maves) Luhut Binsar Pandjaitan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).
Anggota BEM UI meminta Luhut untuk membuka ke publik big data yang berisi beragam percakapan di media sosial, mengenai dukungan untuk penundaan pemilu serta presiden tiga periode.
Meski demikian, Luhut enggan membongkar dari mana data tersebut berasal. "Kamu tidak berhak menuntut saya (membuka data) karena saya punya hak untuk itu," kata Luhut seperti disiarkan oleh Kompas TV, Selasa (12/4).
Terlepas dari polemik mengenai big data ini, mungkinkah melihat percakapan publik di media sosial dan menganalisis kecenderungan umum yang ada sehingga menjadikannya sebagai aspirasi masyarakat?
Menurut peneliti teori kompleksitas dan Pendiri Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir, percakapan di media sosial dapat menjadi gambaran aspirasi masyarakat jika dianalisis menggunakan metodologi yang tepat.
"Berbicara tentang 'data' sendiri, berbagai metodologi sains/matematika terapan dapat diterapkan demi konteks validitasnya," jelas Hokky kepada Katadata, Selasa (12/4).
Berdasarkan data We are Social, Indonesia memiliki populasi lebih dari 277 juta jiwa, dengan penetrasi komunikasi digital mencapai 204,7 juta pengguna internet. Di antara pengguna tersebut, 191,4 juta warga mengakses media sosial seperti facebook, instagram, dan twitter.
Menurut Hokky, big data merupakan kumpulan informasi. Maka dengan populasi Indonesia yang sangat besar, percakapan masyarakat di media sosial dapat disaring untuk menganalisis opini publik yang terbentuk.
"Menjadi sangat dimungkinkan dan bisa sangat efektif menyerap aspirasi masyarakat. Semua tentu ditentukan oleh metode komputasional yang diterapkan atas data-data tersebut," jelasnya.
Bandung Fe Institut beberapa kali dalam forum komunitas kajian ilmiah, sudah mengulik, mengkonstruksi, serta menggubah berbagai model analisis terhadap media sosial untuk memperoleh wawasan mengenai sikap dan kelakuan masyarakat.
Hal ini diperlukan sebagai landasan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.
Termasuk analisis media sosial dalam bidang sikap atau afinitas politik warga, mengenai wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Approval rate pemerintah saat ini memang tergolong luar biasa tinggi," ungkapnya.
Sementara itu, baru-baru ini kajian media sosial dilakukan Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC. Namun, CISSReC menganalisa berdasarkan percakapan di Twitter.
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC, Pratama Persadha, menemukan adanya kejanggalan jika mengacu kepada klaim big data yang memuat 110 juta warganet pendukung penundaan Pemilu 2024 dengan menggunakan open source intelligence (OSINT) akun media sosial Twitter.
"Jadi, data dukungan melalui media sosial ini jelas tidak mungkin sekali, karena pemakai aktif Twitter sekitar 15 juta," katanya, Selasa (13/4) seperti dikutip Antara.
Lagi pula, yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga periode ada pada kisaran 117.746 (tweet, reply, dan retweet). Sedangkan pada pemberitaan daring (online) tercatat 11.868 pengguna pada periode analisis mulai 15 Februari hingga 15 Maret 2022.
Pratama yang juga dosen pascasarjana Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini menyebutkan, data yang menolak penundaan pemilu pada Twitter mencapai 83,60 persen, dan yang mendukung mencapai 16,40 persen. Sementara pada media daring, yang menolak mencapai 76,90 persen, sedangkan yang mendukung 23,10 persen.
Namun, hasil berbeda jika 110 juta data yang dimaksud mengambil pembicaraan dari Facebook dan Instagram. Sebab pengguna Facebook di Indonesia hampir 130 juta, dan Instagram lebih dari 100 juta.
"Namun, tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak peduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang Badan Siber dan Sandi Negara) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
Akan tetapi, Pratama menilai sangat sulit untuk mengambil data tersebut dengan survei atau melihatnya secara umum di internet. Sebab, analisis juga mesti menyesuaikan dengan usia pengguna jika mau menyimpulkannya sebagai aspirasi, apalagi jika mencakup angka hingga 110 juta warganet.
"Mengumpulkan dan membaca data FB, IG, dan WA tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya," kata dia.
Pratama memberikan contoh mengenai kasus Cambridge Analytica, ketika membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit, dan pilihan publik Amerika Serikat pada Pilpres 2016.
Setelah hasilnya dipublikasikan, penelitian mereka menjadi kasus besar dan justru membuat Eropa memperketat aturan mengenai perlindungan data pribadi.