ILO Dorong Dialog Sosial untuk Tingkatkan Budaya Keselamatan Kerja

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Seorang pekerja tanpa menggunakan alat pengaman ketika bekerja di rangka atap salah satu bangunan gedung bertingkat di Medan, Sumatera Utara, Selasa (19/11/2019).
28/4/2022, 16.56 WIB

Meningkatkan keselamatan kerja menjadi salah satu prioritas International Labour Organization (ILO), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani persoalan buruh. ILO memiliki dua pilar utama untuk mengurangi kecelakaan kerja, yaitu melalui budaya pencegahan, serta pendekatan sistem terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berkelanjutan.

Data ILO menyebutkan, terdapat 2,9 juta kematian akibat kecelakaan kerja di dunia. Dari jumlah tersebut, 80% di antaranya disebabkan penyakit, sedangkan 20% sisanya akibat cedera di tempat kerja. Tak hanya itu, sebanyak 402 juta pekerja juga dilaporkan mengalami cedera non-fatal ketika melakukan rutinitas kerja mereka. 

Spesialis K3 ILO, Yuka Ujita menyampaikan bahwa diperlukan dialog sosial yang intens agar dapat mendorong penerapan kedua pilar tersebut.

“Dialog sosial sangat penting untuk kedua pilar ini, terutama untuk budaya pencegahan, baik di tingkat nasional maupun perusahaan,” katanya dalam Webinar Nasional Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sedunia 2022 yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (28/4).

Menurutnya, dialog sosial dapat dilakukan secara formal maupun informal pada berbagai level, mulai dari lokal, nasional, hingga internasional. Hal ini termasuk segala bentuk perundingan, konsultasi, atau pertukaran informasi di antara perwakilan dari pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. 

“Dialog sosial bisa melibatkan berbagai mitra sosial di berbagai sektor ekonomi, kelompok perusahaan, dan perusahaan,” jelas Ujita.

Dalam pelaksanaan dialog sosial, Ujita menekankan pentingnya diskusi yang dilaksanakan tak hanya secara bipartit, tetapi juga tripartit yang melibatkan tiga pihak terkait, yaitu pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah selaku pengawas K3.

Selain itu, dia juga menyinggung keterlibatan lembaga masyarakat yang memiliki minat dan kepedulian terhadap isu K3 di tempat kerja.

“Ada banyak sekali orang dari mitra sosial kita (terkait K3),” ujarnya. 

Dalam lingkup yang lebih luas, Ujita menyoroti pentingnya dialog sosial untuk membahas kondisi kerja, upah, dan jam kerja. Sebab, persoalan itu dapat memberikan pengaruh terhadap keselamatan pekerja.

Dia menilai dialog sosial dapat menjadi wadah untuk membagikan informasi dan persetujuan di antara pemberi kerja dengan pekerja, sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman.

Pada level nasional, Ujita menyampaikan, bahwa peran mitra sosial dalam diskusi tripartit yaitu untuk mengkomunikasikan dan memberikan pemahaman mengenai kolaborasi untuk mencapai tujuan yang sama, yakni keselamatan dalam dunia kerja.

Dalam hal ini, mitra tripartit harus dapat mendiskusikan berbagai kebijakan dan kerangka hukum, seperti undang-undang, bantuan teknis, serta pengumpulan data.

Di Indonesia, Ujita menilai, sudah ada kerja sama yang cukup erat di antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang diwakili Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), menyangkut penyusunan regulasi pada bidang ketenagakerjaan.

“Saya melihat ada kerja sama yang cukup erat antara Kementerian Ketenagakerjaan, pengusaha, dan pekerja,” ujar Ujita.

Hal senada juga diungkapkan Dirjen Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Hayani Rumondang. Menurutnya dialog sosial juga penting dalam mewujudkan budaya K3, karena dapat menstimulus tindakan bersama untuk membangun budaya keselamatan kerja yang lebih baik.

Melalui dialog sosial, seluruh pihak akan semakin memiliki rasa tanggung jawab terhadap pelaksanaan K3, sehinga praktiknya dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

Tak lupa, dia berpesan agar kolaborasi berbagai pihak untuk mendorong pelaksanaan K3 dapat terus dilakukan ke depannya.

“Saya harap dapat dipromosikan untuk menciptakan budaya K3 yang baik di lingkungan kerja,” katanya.

Reporter: Ashri Fadilla