Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menunjuk puluhan Penjabat (Pj) Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan kursi kepala daerah menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Berbagai polemik pun muncul terkait dengan penunjukkan langsung ini. Salah satu yang menjadi pro-kontra yaitu ditunjuknya perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), Brigjen TNI Andi Chandra Asaduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku pada Selasa (24/5).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Apartur Sipil Negara (ASN) menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu memang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Namun, jabatan yang dapat diisi hanya terbatas pada sepuluh instansi.
Instansi tersebut adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan Negara (Kemhan), Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung (MA).
Berdasarkan peraturan itu, Peneliti Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti berpendapat, prajurit TNI/Polri seharusnya tidak ada yang menduduki jabatan di luar 10 lembaga tersebut. "TNI-Polri aktif tidak boleh dan tidak diperkenankan untuk didudukan di jabatan sipil," katanya dalam Diskusi Pro-Kontra Tentara Jadi Penjabat Kepala Daerah oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada Jumat (27/5).
Selain itu, jika mengacu kepada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil seharusnya, terlebih dahulu melepaskan diri dari dinas aktif mereka di TNI.
Dia pun menyoroti sikap pemerintah yang diwakili Menko Polhukam, Mahfud MD, karena bertahan pada ketentuan tidak adanya larangan melibatkan TNI aktif untuk menjadi Pj Kepala Daerah. Menurutnya, pendapat tersebut lahir dari pemahaman dasar hukum secara tekstual.
“Pembacaan secara teks itu memperjelas posisi, bahwa pemerintah yang diwakili Pak Mahfud itu melihat demokrasi dengan kacamata minimalis. Bukan dalam semangat mengembangkan demokrasi, tapi dalam semangat memperkuat konsolidasi kekuasaan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, dia meminta agar pemerintah berhati-hati dalam melibatkan prajurit TNI menjadi Pj. Apalagi, berkaca dari sejarah dwi fungsi TNI-Polri yang pernah dialami Indonesia pada masa Orde Baru. Dia berpendapat saat ini, demokrasi modern di Indonesia semestinya memiliki ciri khas bahwa seluruh institusi negara bekerja dengan fungsinya masing-masing.
“TNI di pertahanan, polisi di keamanan, sipil dikelola oleh politisi sipil. Ini yang saya maksudkan,” katanya.
Senada dengan Ray Rangkuti, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengutip Pasal 5 TAP MPR VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri. Dalam aturan tersebut termaktub bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.
Berdasarkan dalil tersebut, dia menilai bahwa Pj Kepala Daerah merupakan jabatan sipil, sehingga tak semestinya diduduki anggota TNI aktif sebagaimana yang terjadi di Maluku.
“Saya bingung jika kemudian ada profesor hukum yang menduduki jabatan Menko Polhukam berdalih dan tidak mau mengutip ini. Ini pertanyaan besar, apakah kita mau berkhianat terhadap prinsip negara hukum di konstitusi yang diatur dengan jelas?” tuturnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD memberikan pernyataan bahwa pengangkatan TNI dan Polri aktif menjadi Pj Kepala Daerah sudah sesuai dengan aturan di Indonesia. Dia menyoroti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, yang menyebutkan bahwa terdapat 10 institusi yang dibolehkan untuk dijabat oleh anggota aktif TNI.
Diperbolehkannya anggota TNI menjadi Pj Kepala Daerah juga diperkuat dengan adanya peraturan di dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menyebutkan anggota TNI dan Polri diperbolehkan masuk ke birokrasi sipil, asalkan diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017, yang menyebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara.
Untuk diketahui, sebanyak 272 kepala daerah akan habis masa jabatannya sebelum pelaksanaan Pemilu 2024. Jumlah tersebut terdiri dari 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota. Dari angka itu, 101 kepala daerah akan lengser dari kursi kepemimpinannya tahun 2022 ini, dan 171 lainnya di 2023.
Akibat pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan digelar serentak pada November 2024, undang-undang mengamanatkan agar pemerintah menunjuk seorang Pj untuk menjadi gubernur, bupati atau wali kota yang jabatan akan kosong.
Berikut datanya: