Payung Hukum Lembaga Filantropi seperti ACT Atur Denda Hanya Rp 10.000

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.
Mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin (kanan) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (11/7/2022).
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Yuliawati
14/7/2022, 16.50 WIB

Kasus dugaan penyelewengan dana umat oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuat desakan agar payung hukum bagi lembaga-lembaga filantropi direvisi. Salah satu payung hukum, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang Atau Barang, hanya memberikan sanksi ringan bagi pelanggar aturan.

Dalam UU tersebut, sanksi bagi pelanggar hanya berupa pidana kurungan tiga bulan atau denda sebesar Rp 10.000. “Saya rasa tahun 1961 itu (Rp 10.000) gede banget ya. Cuma karena semuanya lupa tentang undang-undang ini, jadi angka itu tidak direvitalisasi sampai hari ini,” kata Ketua Umum Forum Zakat (FOZ), Bambang Suherman, di Jakarta, Kamis (14/7).

Untuk klausul pengajuan perizinan serta pengumpulan uang dan barang, kata Bambang, aturannya sudah baik. Pengajuan perizinan mesti diperbaharui setiap tiga bulan sekali.

Namun rendahnya sanksi denda membuat banyak yang abai. “Karena pelanggarannya didenda 10 ribu rupiah, maka lebih banyak yang minta maaf daripada minta izin,” kata dia.

Kasus dugaan penyelewengan dana ACT, kata Bambang, bisa menjadi momentum untuk mereview regulasi yang terkait dengan lembaga filantropi serta kegiatannya. Perbaikan regulasi dapat dilakukan dengan didahului oleh kajian mendalam.

Kemudian pengusulan naskah akademik, hingga disidangkan menjadi sebuah undang-undang. “Saya rasa kasus ACT ini menjadi momentum baik bagi kita untuk mereview regulasi agar regulasi yang kita kelola itu berbasis penguatan kearifan sosial dan kulturalnya masyarakat,” katanya.

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) juga mengusulkan revisi aturan tersebut. Salah satu poin yang mejadi sorotan, perihal definisi pengumpulan uang atau barang yang termaktub di dalam pasal 1 UU Nomor 9 Tahun 1961.

Di dalamnya tercantum bahwa pengumuplan uang atau barang adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental atau agama atau kerokhanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan.

“Kemensos menggunakan Undang-Undang Tahun 1961 yang sampai sekarang tidak diubah. Apa akibatnya? Ada 30 yayasan kemanusiaan yang meminta dana zakat, infaq, shodaqoh,” ujar pimpinan Baznas, Nadratuzzaman Hosen.

Oleh sebab itu, dirinya mengimbau agar permasalahan terkait definisi tersebut dapat diselesaikan agar jelas pembagian tugas antara Kementerian Sosial dan Kementerian Agama yang menaungi Baznas.

“Kalau kita zakat jelas. Tapi apakah infaq dan sodaqoh juga bisa diambil oleh Kemensos atau bagaimana,” katanya.

Jika tidak ada batasan yang jelas dalam pendefinisian, maka akan berdampak pada kesalahan persepsi dari masyarakat. “Orang ngasih zakat berpikirnya menyalurkan zakatnya ke lembaga LAZ (Lembaga Amil Zakat) atau non-LAZ atau sebaliknya. Jadi biar jelas pada masyarakat,” ujarnya.

Reporter: Ashri Fadilla