Penempatan Khusus untuk Irjen Ferdy Sambo, Apa Kata Pakar Pidana?

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Irjen Pol Ferdy Sambo tiba untuk menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022).
7/8/2022, 20.00 WIB

Polri telah menempatkan Irjen Pol. Ferdy Sambo ke Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) di bawah Provost, untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran kode etik. Penempatan di Mako Brimob akan berlaku selama 30 hari.

Ferdy Sambo menjadi satu di antara 25 polisi, yang diduga tidak profesional dalam menangani olah tempat kejadian perkara (TKP) kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.

Menanggapi penempatan ini, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki), Yenti Garnasih, menilai penempatan ini menciptakan kebingungan di masyarakat. Sebab, penempatan seseorang di tempat khusus seperti ini tidak dikenal dalam proses hukum di Indonesia.

"Mana ada penempatan khusus 30 hari," ujar Yenti kepada Katadata.co.id, Minggu (7/8).

Padahal, proses yang dilakukan terhadap Ferdy Sambo menyangkut dugaan pelanggaran kode etik yang meliputi kegiatan internal Polri, bukan pidana. Menurut pakar hukum pidana ini, proses pengekangan hak kebebasan terhadap seseorang mesti dilakukan berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana (Kuhap).

Kuhap telah mengatur masa penahanan, hanya dapat dilakukan penyidik atau penuntut umum paling lama 20 hari. Jika pemeriksaan belum selesai, waktu penahanan dapat diperpanjang maksimal 40 hari, dan penahanan oleh penuntut umum diperpanjang paling lama 30 hari.

Menurut Yenti, untuk memperjelas masalah ini, dia menyarankan agar Polri kembali fokus terhadap penanganan pidana karena ada dugaan terjadi pembunuhan. "Kalau ada dua alat bukti permulaan, ya tersangka," jelasnya.

Yenti meyakini penempatan khusus terhadap Ferdy Sambo tidak akan memberikan pengaruh terhadap pendalaman hukum pidana kasus dugaan pembunuhan terhadap Brigadir J. Justru hal ini membuat publik mengira Polri telah memberikan hak istimewa dengan perlakuan yang berbeda di mata hukum.

"Equality before the law, itu yang harus dilakukan," tegasnya. "Kita harus selamatkan institusi Polri agar tetap dipercaya."

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum dari Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah. Dia menilai, proses penempatan terhadap Ferdy Sambo di Mako Brimob dapat menimbulkan tafsir berbeda di masyarakat.

Dalam hal dugaan pelanggaran etika dilakukan oleh anggota polri, maka perlu dilakukan investigasi untuk menentukan apakah tindakannya benar menyalahi SOP atau administrasi.

Dalam hal penanganan dugaan pelanggaran etika profesi Polri, aturan proses pemeriksaannya mengacu kepada Peraturan Kepala Polri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Kuhap tidak mengatur secara khusus terkait hal ini," jelasnya.

Sementara Kuhap menjelaskan seseorang dapat ditahan apabila penyidik atau penuntut masih membutuhkan informasinya dalam proses penyidikan, tingkat penuntutan atau pengadilan. "Maka akan ditempatkan dalam suatu rumah tahanan," ucapnya.

Akan tetapi, proses terhadap Ferdy Sambo menunjukkan seolah-olah Polri memberikan fasilitas yang berbeda dalam proses penanganan dugaan pelanggaran kode etik terhadapnya.

Menurut Hery, jika mengacu kepada equality before the law atau asas persamaan di dalam hukum, maka seharusnya tidak ada perbedaan apapun, terutama dalam masalah fasilitas.

Terutama, jika melihat bahwa penempatan yang dilakukan Polri terkesan merenggut hak Ferdy Sambo untuk menikmati kebebasannya dalam melakukan aktivitas sebagai manusia. Padahal, tidak ada status hukum pidana yang disangkakan terhadapnya.

"Akan lebih baik memang status orang tersebut ditentukan terlebih dahulu, karena jika hal tersebut masuk dalam kategori penangkapan atau penahanan, maka itu adalah upaya paksa, yang berpotensi melanggar HAM seseorang," jelasnya kepada Katadata.co.id, Minggu (7/8).

Sebelumnya Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menjelaskan bahwa Ferdy Sambo telah diperiksa Inspektorat Khusus (Itsus) pada Sabtu (6/8), terkait dugaan pelanggaran etik dalam penanganan tempat kejadian perkara menyangkut kematian Brigadir J di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Usai diperiksa, dia langsung ditempatkan di Mako Brimob dalam rangka pemeriksaan. "Penempatan khusus ini dalam konteks pemeriksaan. Jadi tidak benar ada penangkapan dan penahanan,” ujar Dedi saat menggelar tanya jawab dengan wartawan, Sabtu (6/8) dikutip dari Antara.

Selama berada dalam penempatan khusus, menurut Dedi, Ferdy Sambo dijaga ketat oleh anggota Polri. Selain Ferdy, dalam fasilitas ini juga terdapat empat polisi lain yang sama-sama sedang diperiksa terkait dugaan pelanggaran kode etik karena tidak profesional dalam menangani tempat kejadian perkara.

Sementara terkait kasus tewasnya Brigadir J pada Jumat (8/7) bulan lalu, Tim Penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sebagai tersangka. Bharada E disangka melakukan pembunuhan sesuai Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP tentang persekongkolan.