Keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) ternyata menimbulkan persepsi negatif. Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, kepuasan terhadap kinerja Presiden menurun akibat naiknya harga BBM.
Survei dilakukan Indikator pada 5 sampai 10 September 2022 kepada 1.215 responden. Penjaringan opini ini menggunakan metode random digit dialing (RDD) atau pembangkitan nomor telepon secara acak. Adapun margin of error survei diperkirakan ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%.
Dari hasil survei tersebut, tingkat kepuasan masyarakat menurun dari 72,3% pada Agustus 2022 menjadi 62,6% pada September 2022. Meski demikian, angka kepuasan ini masih berada di atas Mei 2022 yakni 58,1%.
Turunnya kepuasan terhadap Jokowi sejalan opini mereka atas kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sebanyak 51,7% responden merasa situasi ekonomi RI buruk, naik signifikan dari 39,2% bulan lalu.
"Kondisi perekonomian dinilai memburuk karena keputusan pemerintah mengurangi subsidi sehingga harga BBM harus naik, sebanyak 71,5% warga menentang kebijakan tersebut," demikian bunyi keterangan Indikator Politik Indonesia yang ditulis pada Senin (19/9).
Angka ketidakpuasan tinggi berasal dari kelompok yang tinggal di Sulawesi, Banten, pegawai, wiraswasta, pemilih Partai Keadilan Sejahtera (PKS), hingga pemilih Prabowo-Sandiaga pada Pemilu 2019.
Sedangkan penolakan harga BBM naik terutama dari kelompok perempuan, usia muda, pendidikan menengah, pendapatan Rp 3,5 juta ke bawah, pelajar, pegawai, wiraswasta, masyarakat pedesaan, hingga pemilih Prabowo-Sandi pada Pemilu 2019.
Survei juga menemukan pemakluman responden terhadap latar belakang pengurangan subsidi BBM tidak cukup besar. Ini lantaran konsekuensi atas naiknya harga bahan bakar dirasakan lebih kuat oleh masyarakat.
Sebanyak 58,6% responden juga lebih menginginkan subsidi dalam bentuk harga barang. Adapun responden yang setuju subsidi tunai langsung hanya mencapai 37,1%.