Profesi Medis di Daerah Tolak Omnibus Law RUU Kesehatan

Katadata
Ilustrasi tenaga kesehatan
5/11/2022, 16.11 WIB

Beragam organisasi profesi kesehatan di Indonesia mulai ramai-ramai menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Beleid tersebut rencananya akan dibahas Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 mendatang.

Penolakan datang dari organisasi profesi kesehatan wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) NTB, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Provinsi NTB, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Provinsi NTB, dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Provinsi NTB.

Organisasi profesi tersebut mendukung perbaikan sistem kesehatan melalui UU Sistem Kesehatan Nasional, namun tidak dengan menghilangkan UU Profesi yang sudah ada dan menggantinya dengan Omnibus Law RUU Kesehatan .

"Penghilangan UU Profesi ini tidak hanya berpotensi negatif pada organisasi profesi, namun terutama pada masyarakat,” ujar Ketua IDI NTB, dr. Rohadi, dalam konferensi pers bersama yang disiarkan secara virtual, Sabtu (5/11).

Menurutnya, kelima organisasi profesi medis kesehatan sepakat bahwa kebijakan kesehatan harus mengutamakan jaminan hak kesehatan masyarakat. Untuk itu, perlu memastikan tingkat kompetensi dan kewenangan tenaga medis, agar keselamatan pasien juga terjaga.

Selain itu, mereka juga menilai UU di bidang kesehatan yang ada saat ini sudah berjalan selaras, baik UU tentang Praktik Kedokteran, UU tentang Tenaga Kesehatan, UU tentang Keperawatan, UU tentang Kebidanan, serta RUU tentang Kefarmasian. 

"Kami mendukung perbaikan sistem kesehatan yang terdapat dalam RUU tersebut, terutama dalam hal pemerataan dokter spesialis untuk daerah-daerah," tambahnya.

Tak hanya itu, semua UU tersebut juga telah memenuhi tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis, serta memberikan kepastian hukum kepada dokter, dokter gigi, dan tenaga medis kesehatan lainnya seperti bidan, perawat, dan apoteker. Terutama memberikan perlindungan pelayanan kepada masyarakat.

Pada kesempatan ini, Ketua PPNI Provinsi NTB, Muhir, mengatakan terdapat beberapa persoalan lain yang lebih penting untuk dibahas DPR, daripada Omnibus Law tersebut.

Hal ini mengacu kepada biaya pendidikan profesi kesehatan yang tinggi, sehingga tidak semua masyarakat sanggup untuk menempuh pendidikan bidang kesehatan, terutama kedokteran.

Selain itu, pajak tinggi membuat akses terhadap alat kesehatan menjadi tidak merata. Kemudian persoalan kesejahteraan, terkait dengan remunerasi bagi tenaga kesehatan terutama di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan atau 3T.

Pernyataan organisasi profesi kesehatan di NTB ini sejalan dengan sikap organisasi profesi Medis dan Kesehatan Nasional yang digaungkan dalam beberapa pekan terakhir.

Sebelumnya, organisasi prosesi serupa di Kudus, Jawa Tengah, juga menolak Omnibus Law RUU Kesehatan. Mereka menilai pembahasan RUU tersebut belum memiliki kepentingan, karena tidak ada poin krusial yang dibahas.

Pada akhir September lalu, dalam situs resmi IDI, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mohammad Adib Khumaidi, menjelaskan Omnibus Law RUU Kesehatan dikhawatirkan akan menghapus undang-undang yang selama ini sudah berjalan baik.