Cerpen terdiri dari beragam cerita yang menarik dan inspiratif. Salah satu tema yaitu cerpen Islami untuk topik menulis. Cerita pendek Islami ini bisa dibuat untuk tugas sekolah Bahasa Indonesia. Contohnya saja cerita tentang pelajaran hidup yang didapat setelah berbuat kebaikan.
Cerpen termasuk karya sastra populer. Cerpen berupa cerita pendek, singkat, dan jelas. Alur cerita cerpen mudah dipahami oleh pembaca. Konflik yang ada dalam cerita tersebut juga jelas, berbeda dengan novel. Berikut contoh cerpen Islami motivasi mengutip dari Cerpenmu.com.
Cerpen Islami Motivasi
1. Sahabat Sholat Dhuha
Karya: Diaz Tavarel S
Di bangku sekolah menengah, ada anak yang namanya Rudi. Rudi sangat disenangi oleh teman-temannya. Karena Rudi sangat baik dan tidak sombong ketika bergaul.
Kalau di kelas, Rudi tidak sangat pintar, dan tidak sangat bodoh. Rudi seringkali mendapat nilai jelek kalau ulangan. Sering kali Rudi dimarahi gurun dan dibenci oleh guru karena mendapat nilai yang tak layak.
“Kenapa kamu sering mendapatkan nilai jelek Rudi?” tanya salah satu guru kepada Rudi.
“Iya Bu, maaf memang saya bisa mengerjakan segitu” jawab Rudi.
“Apakah kamu tidak pernah belajar Rud?” Tanya Ibu guru.
“Belajar Bu, tetapi saya mendapatkan nilai segitu.” kata Rudi
“Oh ya udah nggak apa-apa” kata Bu guru
Kriiinnggg. Bel istirahat pun berbunyi. Rudi segera menuju masjid yang ada di sekolahnya untuk melakukan salat dhuha. Setelah melakukan salat dhuha, Rudi melihat adik kelas yang sedih di serambi masjid. Rudi menghampiri anak itu.
“Kamu kenapa dek?” tanya Rudi kepada anak itu.
“Saya lapar kak” jawab anak itu.
“Apakah kamu tidak membawa uang saku?” Tanya Rudi kembali.
“Tidak kak, saya tidak diberi uang saku oleh bapak saya” jawab anak itu.
Setelah mendengar jawaban itu, Rudi pun ingin tahu tentang masalah anak itu. “Emang kenapa dek, dengan bapakmu?” Tanya Rudi.
“Bapak saya sering menghabiskan uangnya kak, sering dibuat mabuk-mabukan dan berj*di” jawab anak itu dengan menangis.
“Astaghfirullah hal adzim, udah jangan menangis dek” kata Rudi.
“Iya kak” kata anak itu sambil mengusap air mata.
“Udah ayo tak traktir makanan ke kantin” ajak Rudi.
“Ga usah kak gapapa kok” jawab anak itu dengan malu.
“Udah ayo gapapa, jangan malu gitu dong” ajak Rudi.
“Iya udah ayo” kata anak itu.
Rudi dan adik kelasnya berangkat ke kantin. Sesampai di kantin keduanya memesan nasi dan minuman. Setelah memesan nasi dan minuman, mereka pun langsung memakan di tempat yang sudah disediakan.
Saat sedang makan, bel masuk pun berbunyi.
“Krrriiiiinnggg”.
“Udah masuk kak” kata anak itu.
“Udah gapapa lanjutin aja” sahut Rudi
Setelah makan udah habis, mereka langsung membayar dan segera masuk kelas masing-masing. Ketika masuk ke kelas, ternyata guru Rudi telah masuk di kelasnya.
“Assalammu’alaikum Bu” salam Rudi sambil mengetok pintu.
“Wa’alaikumsalam” jawab Bu guru.
Rudi langsung salim ke gurunya.
“Maaf bu saya telat masuk kelas” kata Rudi.
“Darimana kamu Rud?” Tanya Bu guru.
“Saya dari kantin bu” jawab Rudi.
Mendengar jawaban itu ibu guru langsung memarahi Rudi. Rudi pun terdiam dan merasa malu kepada teman-temannya. Ibu guru langsung menyuruh Rudi duduk dan berjanji tidak mengulanginya lagi.
2. Idul Adha dan Seekor Tikus
Karya: A. Zulfa Muntafa
Siang itu setelah beberapa pekerjaan rumah diselesaikannya, dia berbaring di tempat tidurnya seperti biasa. Dia men-scroll cakrawala di salah satu media sosial miliknya hingga lama.
Sebenarnya dalam benaknya agak merasa bagaimana jika terus-terusan begitu lama-lama. Namun sementara begitu dulu tak apa. Santai saja. Daripada melakukan sesuatu yang merugikan orang lebih baik sibuk dengan dirinya sendiri meski terkesan seperti tidak melakukan apa-apa.
Selepas menikmati aktivitasnya itu, dia ingin ke belakang—walau agak malas karena harus bergerak dari ranjang yang membuatnya nyaman.
Dia hendak berhajat kecil. Dia lantas mulai beranjak dari posisinya itu kemudian berjalan melewati beberapa ruangan di rumahnya yang juga sangat nyaman hingga tiba di bilik mandi. Tak perlu diceritakan apa yang dilakukannya di situ, sudah jelas.
Sesudah itu, setelah merasa lega, dia kembali menuju kamarnya dan duduk di kursi yang berada di sebelah ranjangnya.
Di sampingnya ada juga meja berbentuk L, tempat biasa dia meletakkan barang-barang yang dia perlukan. Kembali di-scroll-nya konten-konten di media sosialnya, untuk mengisi waktu, barangkali menemukan hal-hal yang dianggapnya menarik—atau jika beruntung malah menjumpai gambar wanita cantik. Dia juga menyukai konten musik.
Tak berselang lama, dia mendapati seekor tikus lewat dengan cepat di samping kursi kayunya yang beralas empuk—ada beberapa tikus yang turut menginap di kamarnya memang, dia tidak begitu mempermasalahkan hal itu juga—bersamaan dengan video takbir berkumandang yang didapatinya di ponselnya.
Hari itu masih bernuansa Iduladha. Namun yang berbeda, tikus yang biasanya melintas dengan lugas kali itu tiba-tiba berhenti sejenak ketika takbir kurban terdengar meski hanya dari ponselnya.
Agak aneh memang jika sekilas dipikirkan. Seekor tikus yang tidak berakal ikut serta dalam hormat kepada Tuhan. Namun dia dan tikus itu hakikatnya sama-sama mamalia, sama-sama makhluk-Nya.
Mereka berdua sama-sama termangu sejenak—entah karena apa yang pasti hanya Dia yang tahu—lantas melanjutkan tugas mereka sendiri-sendiri menjemput takdir masing-masing.
3. I (Never) Give Up
Karya: Dhiya Shafiya Putri
Hari ini kalender menampilkan tanggal 12 Juli, tanggal di mana seorang perempuan berumur 11 tahun berulang tahun. Naura Haira Taqiya, biasa dipanggil Haira. Seseorang yang terkenal dengan kepintarannya dalam berbagai pelajaran di sekolah, selalu menduduki ranking tiga di kelasnya.
Kelemahan Haira hanya satu, ia lemah dalam hafalan, nilai Haira sendiri sangat turun di bidang Al-Qur’an dan hadis. Hal tersebut membuat Haira jarang membaca Al-Qur’an karena sudah menyerah dalam menghafal.
“Haira!!” Sebuah teriakkan membuat Haira yang baru saja keluar gerbang sekolah menoleh, ia mendapati kedua sahabatnya tengah berlari sambil memegang sesuatu.
“Selamat ulang tahun!” Sahut keduanya bersamaan sambil menyodorkan sebuah kotak yang sudah terbungkus rapi oleh kertas kado.
Haira tersenyum lebar, ia berterima kasih dan menerima kado dari si kembar-sahabatnya dari kelas sebelah.
“Kau sudah berumur 12 tahun saja ya? Tidak terasa kita sudah 4 tahun bersama.” Tanggap Laila.
Qiara mengangguk menyetujui. “Benar, aku yakin kak Era-hump!”
Perkataan Qiara terputus karena Laila membungkam mulutnya dengan panik. Membuat Haira bingung, kenapa Laila panik? Dan siapa juga Era?
“Ah! Haira! Kami pulang dulu ya! Sudah dijemput! Dah!”
Haira mengangguk dan balas melambai ke arah Laila yang pergi sambil menutup mulut Qiara.
Ia juga harus kembali ke rumahnya dengan cepat, Haira sudah sangat penasaran dengan kado yang akan diberikan oleh ayahnya yang baru saja pulang hari ini dari negeri sebelah untuk bekerja.
Sesampainya di depan rumah, Haira langsung masuk sambil berteriak memberi salam. Betapa terkejut dan senangnya Haira ketika melihat rumahnya sudah didekorasi begitu indah.
“Selamat ulang tahun!” Teriak Ibu dan ayahnya.
Haira tersenyum lebar, ia kemudian memeluk kedua orangtuanya senang.
Sekarang saatnya Haira membuka hadiah-hadiah yang ia dapatkan, termasuk kado berbentuk segi panjang dari ayahnya yang terbalut kertas kado berwarna merah-warna kesukaan Haira.
Wajah Haira semakin lama semakin berbinar begitu membuka kado-kado dengan bermacam isi. Dan terhenti tepat ketika Haira membuka kado dari ayahnya. Sebuah kerutan muncul di kening Haira. “Al-Qur’an?” Haira lantas menoleh pada ayahnya.
“Ayah rasa sudah saatnya kau kembali menghafal Al-Qur’an Haira.”
Haira terdiam sebelum akhirnya tiba-tiba bangkit berdiri.
“Haira gak mau!! Ayah kan tau kalau Haira lemah dalam Al-Qur’an! Kenapa ayah berikan ini ke Haira!!”
Ayah dan ibu Haira saling berpandangan.
“Tapi bukan berarti Haira menyerah sayang. Ayah sudah belikan yang warna merah loh, kesukaan Haira.”
Haira menggelang dengan cepat, ia kemudian berlari pergi keluar rumahnya. Meninggalkan ayahnya dan ibunya yang diam.
Kini Haira berada di taman, tempat kesukaan Haira. Duduk di sebuah bangku sambil menunduk.
“Ayah ibu kenapa sih? Padahal Haira kan lemah dalam hafalan, gak bisa menghafal Al-Qur’an walau sudah berkali-kali membaca.
Haira terdiam, memandang tanah di bawahnya. Sibuk kalut dengan pikirannya sendiri, hingga sebuah alunan pelan terdengar.
Haira mendongak dan menoleh ke sampingnya, terdapat seorang perempuan yang umurnya kira-kira 13 tahunan. Tengah melantukan sebuah surat sambil memangku sebuah Al-Qur’an berwarna orange.
Sebuah rasa tenang juga janggal terasa di hati Haira ketika mendengar dan memandang perempuan tersebut. Hingga pandangan Haira teralihkan pada Al-Qur’an di pangkuan perempuan tersebut, Al-Qur’an itu sama persis dengan hadiah dari ayahnya, yang membedakan hanya warnanya.