Covid-19 saat ini tengah menghantam Cina. Bahkan, rumah sakit di sejumlah kota besar seperti Beijing dan Shanghai terancam lumpuh karena tak kuat lagi menahan pasien yang terus masuk.
Kenaikan kasus ini terjadi hanya selang dua pekan usai Pemerintah Cina melonggarkan aktivitas. Ini menyusul protes yang dilakukan masyarakat di beberapa kota.
Kasus positif hari ini mencapai 3.707 orang, meningkat dari 2.097 pada 18 Desember lalu. Sementara, otoritas Cina memprediksi puncak Covid-19 baru akan terjadi pekan depan. Mereka juga tengah bersiap untuk menghadapi skenario terburuk.
"Puncak infeksi akan meningkatkan angka keparahan yang tentunya berdampak pada seluruh sumber daya medis," kata Direktur Pusat Penyakit Menular Nasional Cina, Zhang Wenhong dikutip dari Reuters, Jumat (23/12).
Bahkan, lonjakan kasus di Cina menjadi perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus meminta data spesifik tentang keparahan pasien hingga kemampuan rumah sakit di negara tersebut.
Sedangkan Kepala Kedaruratan WHO dr. Michael Ryan juga mengatakan ICU rumah sakit di Negeri Panda telah penuh meski Cina menyatakan angka kasus masih rendah.
"Kami telah sering mengatakan ini: virus yang sangat menular ini akan selalu sulit dihentikan sepenuhnya," kata Ryan pada Kamis (22/12) dikutip dari BBC.
Padahal Cina mampu menahan gejolak pandemi dengan Zero Covid-19 Policy atau Kebijakan Nol Kasus Covid-19. Pemerintah Cina acapkali melakukan lockdown secara ketat di satu kota besar jika menemukan pasien dalam jumlah kecil.
Namun apa saja faktor penyebab lonjakan kasus Covid-19 di Cina?
Gagalnya Transisi New Normal
Ahli mengatakan Cina gagal menjalankan transisi dari Zero Covid-19 Policy menuju situasi normal. Mereka tak menyiapkan vaksinasi hingga sistem kesehatan yang memadai.
Dampaknya, penularan Covid-19 dapat ditahan sejak 2020 lalu. Namun masalah muncul ketika sedikit penduduk yang telah mendapatkan antobodi Covid-19.
Pemerintah juga dianggap tak mampu mengomunikasikan strategi saat hidup kembali normal kepada masyarakat. Sebaliknya, Cina lebih sibuk dengan lockdown dan tes kepada penduduk ketimbang memperkuat sistem kesehatan.
"Tidak ada waktu transisi bagi sistem medis untuk mempersiapkan ini," kata ahli wabah dari University of California, Los Angeles (UCLA) Prof. Zuofeng Zhang dikutip dari Reuters.
Efektivitas Vaksin Lokal
Cina merupakan negara yang mengandalkan vaksin buatan mereka sendiri meski tak begitu efektif melawan Covid-19. Mereka juga menolak vaksin berbasis mRNA yang diproduksi negara-negara barat.
Kondisi ini diperparah dengan masih sedikitnya lansia yang mendapatkan vaksin penguat alias booster. Saat ini baru 42,3% penduduk berusia 80 tahun ke atas yang mendapatkan suntikan ketiga.
"Pemerintah China bersikeras untuk mengembangkan vaksinnya sendiri, yang menyebabkan penundaan waktu dan mematikan," tulis Ketua Kesehatan Masyarakat global di University of Edinburgh, Prof. Devi Sridhar dalam tulisan di The Guardian, Rabu (21/12).
Akibat lamanya proses pengembangan vaksin, Cina tertinggal dalam hal memberikan vaksin kepada seluruh penduduknya. Sementara, banyak negara menyelesaikan vaksinasi primer pada 2021 dan booster pada 2022.
Tes Kendor
Salah satu faktor lainnya adalah melemahnya tes usai pelonggaran aktivitas. Ini mengakibatkan pasien positif yang tak bergejala masih berkeliaran.
Padahal sebelumnya, Pemerintah Cina menyediakan banyak lokasi tes di sudut jalan yang berada di perkotaan. Namun saat ini fasilitas tersebut sudah dihentikan sejalan dengan pelonggaran.
Tak hanya itu, kewajiban hasil tes PCR negatif juga sudah ditiadakan saat memasuki fasilitas umum. "Bahkan tes PCR di rumah sakit tidak dilakukan," kata epidemiolog dari Hong Kong University Prof. Ben Crowling dikutip dari ABC.