Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersikeras mendorong perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Perubahan sistem itu akan membuat pemilih hanya mencoblos lambang partai politik di kertas suara dari yang sebelumnya bisa memilih langsung calon legislatif yang sesuai.
Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto bahkan menyebut usulan perubahan sistem pemilu itu kini tengah dibahas di Mahkamah Konstitusi. Sebanyak sembilan hakim MK akan menjadi penentu pelaksanaan pemilu mendatang. Di sisi lain ia menyebut, penolakan perubahan sistem pemilu oleh 8 fraksi partai politik di parlemen tidak akan berpengaruh pada proses yang sedang berjalan di MK. .
"Ini diskursus biasa saja. Soal penolakan, monggo. pengambil keputusan adalah 9 hakim MK. Kalau ini (pernyataan sikap menolak sistem pemilu proporsional tertutup) hanya untuk hore-hore saja," kata Bambang, di Kompleks Parlemen, Rabu (11/1).
Menanggapi pernyataan Bambang, Wakil ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan pernyataan delapan partai politik parlemen bukan sekadar 'hore-hore' belaka. Doli mengklaim delapan parpol tersebut mewakili suara aspirasi masyarakat. Ia menyebut, dari hasil lembaga survei yang dilihatnya menunjukkan sekitar 80 persen masyarakat setuju dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
"Jadi, tolong dikoreksi kalau disebut ini pertemuan hore-hore, ini serius, sangat serius. Sangat seriusnya karena kami membela kepentingan rakyat, kepentingan kemajuan demokrasi Indonesia," kata Doli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/1).
Doli mengatakan, apa yang dilakukannya bersama beberapa perwakilan parpol lainnya bukan untuk kepentingan satu-dua orang saja. Ia menyebut mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup menunjukkan kemunduran demokrasi.
Untung Sistem Pemilu Tertutup untuk PDIP
Peneliti dari Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro mengatakan PDIP punya alasan kuat di balik keinginan untuk mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Menurut Bawono, berdasarkan temuan hasil survei selama beberapa tahun terakhir menunjukkan PDI Perjuangan sebagai partai politik dengan tingkat elektabilitas tertinggi.
Berbeda dengan PDIP, elektabilitas partai lain masih sangat fluktuatif tergantung isu yang berkembang. Volatilitas suara terutama lebih terlihat pada partai menengah dan partai non parlemen. Salah satu penyebab naik turunnya suara partai ini sangat ditentukan oleh figur calon legislatif yang diusung.
“Bagi partai-partai politik (menengah dan non parlemen) penggunaan sistem proporsional terbuka menjadi salah satu bagian penting untuk memperoleh suara maksimal di pemilu,” ujar Bawono.
Menurut Bawono, pada kasus PDIP suara partai lebih stabil dan tidak terlalu bergantung pada ketokohan. Atas alasan itu ia melihat PDIP tidak membutuhkan strategi popularitas untuk mendorong naiknya suara pemilih.
“Bagi PDI Perjuangan, partai dengan tingkat elektabilitas tertinggi hingga mencapai 20 persen maka tentu saja sistem proporsional terbuka tidak lg menjadi sebuah kebutuhan,” kata Bawono lagi.
Lebih jauh ia menyebut, dengan tidak lagi diberlakukan sistem proporsional terbuka, ia menilai PDIP akan menjadi partai yang sangat diuntungkan. Partai kecil akan semakin sulit mengimbangi PDIP karena secara partai memiliki tingkat keterpilihan sedang hingga rendah.
Dengan sistem tertutup, partai kecil tidak bisa lagi melakukan pendekatan popularitas caleg untuk menggenjot suara. Pemilih hanya bisa mencoblos partai politik, sedangkan figur yang akan dipilih menjadi legislatif akan ditentukan oleh partai.
Sebelumnya, uji materi terhadap Pasal 168 Ayat 2 Undang-undang tentang Pemilu mengenai sistem proporsional terbuka diajukan ke MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Uji materi ini diajukan pemohon atas nama Demas Brian Wicaksono (Pengurus PDIP), Yuwono Pintadi (Anggota Partai NasDem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Jika judicial review tersebut dikabulkan, maka, pada pemilu 2024 mendatang berpotensi berubah menggunakan sistem proporsional tertutup.