Lima organisasi profesi yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersama forum tenaga kesehatan melakukan aksi di depan Gedung DPR-MPR RI, Jakarta, Senin (5/6).
Aksi tersebut sebagai bentuk penyampaian tuntutan untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, aksi demo yang diikuti ribuan tenaga kesehatan atau nakes tersebut menyebabkan Jalan Gatot Subroto macet. Hal itu karena polisi pun menutup sebagian jalan dan mengalihkan pengendara ke ruas lain sehingga terjadi penumpukan.
Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Beni Satria mengatakan, aksi yang dilakukan hari ini merupakan kedua dan terakhir. Selanjutnya mereka mengancam akan melakukan mogok kerja jika tuntutan aksi tidak digubris.
"Setelah ini kami menginstruksikan seluruh anggota untuk mogok kalau pemerintah tetap tidak menggubris dan tidak mengindahkan apa tuntutan kamu hari ini," kata Beni, ditemui di lokasi aksi, Senin (5/6).
Ia mengungkapkan, massa aksi secara tegas menuntut pemberhentian pembahasan RUU Kesehatan. Pada 28 hari yang lalu, massa aksi telah menyampaikan tuntutan serupa. Namun demikian, hingga saat ini belum ada keputusan untuk menghentikan pembahasan RUU Kesehatan.
Beni mengatakan, pelayanan darurat, ICU dan IGD masih dijalankan meskipun aksi hari ini diikuti oleh ribuan nakes.
"Itu tetap berjalan. Ini sama seperti cuti lebaran. Cuti lebaran kita liburnya satu minggu tidak ada yang masalah. Tetapi tetap dokter akan dihubungi, dateng, perawat pun akan datang," katanya.
Kendati demikian, nakes akan menghentikan pemberian pelayanan non darurat selama tuntutan belum terpenuhi.
"Kami akan mengambil langkah konstitusi. Kalau ternyata tuntutan kami itu tetap tidak digubris oleh pemerintah dan DPR," katanya.
Pasal Kontroversial
Melansir situs resmi IDI, terdapat sejumlah pasal kontroversial dalam draf RUU Kesehatan, di antaranya:
- Pasal 314 ayat (2)
Isu pertama terkait marginalisasi organisasi profesi dianggap akan mengamputasi peran organisasi profesi. Dalam Pasal disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.
"Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi."
Namun dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48.
Pihak yang menolak RUU tersebut dibuat bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan.
Itu karena dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.
RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi. Bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktek dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi.
Padahal rekomendasi organisasi profesi akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.
- Pasal 206
Pasal kontroversi lain yang membuat lima organisasi profesi menolak RUU adalah Pasal 206, khusunya ayat (3) sampai (5) yang menyebutkan bahwa standar pendidikan kesehatan dan kompetensi disusun oleh menteri. Berikut bunyi ayat (3), (4), dan (5) dalam Pasal 206:
Memang dalam pasal tersebut disebutkan kolegium masih terlibat. Kolegium adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi untuk masing masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut. Badan ini yang dapat mengetahui apakah nakes kompeten atau tidak. Namun nanti kolegium harus berkoordinasi dengan menteri.
- Pasal 239 Ayat (2)
"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri."
Butir Pasal 239 ayat (2) juga dianggap kontroversial. Itu karena berdasarkan Pasal 239 RUU ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggungjawab langsung ke Presiden nanti akan bertanggungjawab kepada Menteri. Bila ini disahkan, maka wewenang menteri akan sangat luas.
- Pasal 462 Ayat (1)
Isi pasal tersebut intinya adalah tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dapat dipidana. Begini bunyinya:
"Setiap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun."
Namun dalam pasal tersebut tidak ada penjelasan rinci terkait poin kelalaian yang dimaksud.
- Pasal 154 Ayat (3)
Pasal kontroversi RUU Kesehatan selanjutnya adalah terkait tembakau dengan narkotika dan psikotropika yang dimasukkan satu kelompok zat adiktif. Berikut isi lengkap pasalnya:
"Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya."
Penggabungan ini dikhawatirkan akan menyebabkan munculnya aturan yang akan mengekang tembakau nantinya lantaran posisinya disetarakan dengan narkoba.
Ini tentu akan menimbulkan polemik lain karena merugikan banyak pihak yang bekerja di industri tembakau. Apalagi industri tembakau merupakan industri yang memberikan dampak besar bagi negara.
Demikian alasan kenapa RUU kesehatan ditolak dan penjelasan soal pasal-pasal kontroversial yang jadi penyebab sejumlah nakes menolak RUU Kesehatan dan melakukan aksi demonstrasi.