Mengurai 6 Poin dalam RUU Kesehatan yang Tuai Pro dan Kontra Publik

ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/wsj.
Seorang tenaga kesehatan membentangkan poster saat berunjuk rasa menolak RUU Omnibuslaw Kesehatan di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/11/2022).
Penulis: Andi M. Arief
8/6/2023, 10.35 WIB

Revisi Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menuai pro dan kontra. Rancangan Undang-undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat ini telah diserahkan kepada pemerintah pada awal Maret lalu untuk menghimpun Daftar Isian Masukan (DIM) yang diperoleh dari masukan publik. 

Dari sisi pemerintah, Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin  sebagai koordinator. Menteri lain yang dilibatkan adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Menteri pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Di tengah proses penjaringan masukan publik itulah muncul sejumlah aksi menolak dari berbagai daerah. Alih-alih memberi masukan, kelompok penentang bahkan menolak untuk membahas draft RUU karena dianggap penuh masalah. 

Pada Senin (5/6) lima organisasi profesi melakukan aksi besar-besaran di depan Gedung DPR-MPR RI. Massa aksi tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersama forum tenaga kesehatan.

Aksi yang digelar lima organisasi itu merupakan bentuk penyampaian tuntutan untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-undang Kesehatan Omnibus Law yang akan berdampak pada setidaknya 13 Undang-undang. Aksi yang diikuti lebih dari seribu tenaga kesehatan itu membuat jalan di depan Gedung DPR macet. 

Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Beni Satria mengatakan, aksi yang dilakukan merupakan kedua dan terakhir. Selanjutnya mereka mengancam akan melakukan langkah ekstrem  jika tuntutan aksi tidak digubris.

 "Setelah ini kami menginstruksikan seluruh anggota untuk mogok kalau pemerintah tetap tidak menggubris dan tidak mengindahkan apa tuntutan kamu hari ini," kata Beni, ditemui di lokasi aksi, Senin (5/6). 

Sebulan sebelumnya Beni mengklaim massa aksi telah menyampaikan tuntutan serupa. Namun demikian, hingga saat ini belum ada keputusan untuk menghentikan pembahasan RUU Kesehatan. 

Penolakan serupa juga terjadi di kota lain. Di Bandung, Presiden Partai Buruh Said Iqbal  mengatakan sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan dapat merugikan kaum buruh saat membayar biaya pengobatan di rumah sakit.

"Kue BPJS Kesehatan mencapai Rp 500 triliun. Konglomerat rumah sakit dan konglomerat mau mengambil dan merampas kesehatan, tapi rakyat suruh bayar secara mandiri saat sakit," kata Said dalam saluran Bicaralah Buruh, Rabu (7/6).

Said menjelaskan Draf RUU Kesehatan yang kini dibahas di DPR memiliki klausul terkait pendanaan biaya kesehatan. Pada intinya, klausul tersebut mengizinkan pasien untuk mengeluarkan biaya secara mandiri jika BPJS Kesehatan tidak melayani layanan yang diinginkan.

Apa saja pasal dalam RUU Kesehatan yang menuai kontroversi?

Asuransi komersial

Pengenaan asuransi komersial menjadi salah satu poin yang dikritik Said Iqbal. Salah satu pasal yang dimaksud adalah Pasal 422 Draf RUU Kesehatan. Secara singkat, pasal tersebut mengizinkan pendanaan upaya kesehatan perseorangan berasal dari banyak sumber, termasuk asuransi kesehatan komersial.

Dalam kasus ekstrem, seorang pasien dapat menggunakan BPJS Kesehatan, asuransi komersial, dan dana pribadi untuk berobat di rumah sakit. Akan tetapi, Ayat (3) Pasal 422 Draf RUU Kesehatan mengatur bahwa hal tersebut harus bersifat sukarela. Said menilai dengan mekanisme baru ini para konglomerat industri kesehatan akan lebih diuntungkan.

Said menilai klausul tersebut dapat disalahgunakan oleh rumah sakit dan dapat merugikan kelas pekerja. "Partai Buruh akan all-out menolak RUU Kesehatan," kata Said. 

Pasal tentang kemudahan izin dokter asing

Persoalan kemudahan pemberian izin untuk dokter dalam RUU Kesehatan juga menuai perdebatan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 233 hingga Pasal 241 Draf RUU Kesehatan.

Secara sederhana, RUU Kesehatan memberikan batasan bagi dokter asing maupun dokter diaspora yang mau beroperasi di dalam negeri. Batasan yang dimaksud adalah syarat memiliki Surat Tanda Registrasi sementara, Surat Izin Praktek, dan Syarat Minimal Praktek. Namun seluruh aturan tersebut dapat diterobos jika dokter asing dan dokter diaspora tersebut telah lulus pendidikan spesialis.

"Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234, bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah prakik sebagai spesialis atau subspesialis paling sedikit 5 tahun di luar negeri," seperti tertulis dalam Pasal 235 Draf RUU Kesehatan.

Said menilai aturan tersebut berbahaya, pasalnya dokter spesialis tersebut dapat beroperasi tanpa rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia. Sejauh ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berbentuk STR sebelum Kementerian Kesehatan menerbitkan SIP.

Di sisi lain, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan Henny Rosita berpendapat beleid tersebut mempermudah lahirnya dokter spesialis di Tanah Air. Selain itu, ia menyebut akan ada penyederhanaan proses izin praktek dokter dan penyederhanaan pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR).

Berbagai kemudahan yang dihadirkan dalam beleid kesehatan yang sedang digodok menurut Henny akan membuat proses pengurusan surat izin praktik kedokteran lebih mudah. Selain itu, menurutnya untuk kebutuhan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan lebih banyak, lebih diperluas dan hal tersebut akan menguntungkan masyarakat. 

"Akses pada layanan kesehatan jadi lebih mudah," kata Henny seperti disiarkan di YouTube Kementerian Kesehatan, dikutip Selasa (6/6).

Penyederhanaan STR

Persoalan lain yang menjadi perdebatan publik dalam RUU Kesehatan adalah soal penyederhanaan STR. STR merupakan syarat seorang dokter dapat mengajukan SIP kepada pemerintah untuk bekerja sebagai dokter. Sampai saat ini, STR diterbitkan oleh IDI selaku organisasi kesehatan.

Dalam Draf RUU Kesehatan, STR diterbitkan oleh konsil masing-masing bidang spesialisasi dokter. Di samping itu, Menteri Kesehatan dapat mengevaluasi dan mengoreksi STR yang telah diterbitkan sesuai dengan Pasal 275 Draf RUU Kesehatan.

Sebagian kalangan menilai kemudahan pemberian STR akan membuat kontrol terhadap kualitas dokter terganggu. Walau demikian, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Brebes Rasipin mengatakan hal revisi justru memperjelas kewenangan Kementerian Kesehatan di bidang kesehatan.

Di samping itu, Rasipin menilai perubahan proses administrasi tersebut dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di daerah. Menurutnya, saat ini pemenuhan dokter spesialis tidak bisa diselesaikan secara cepat.

"Spesialis bedah saraf yang dalam satu tahun paling hanya meluluskan paling banyak empat, dan itu kalau mengandalkan perguruan tinggi jadi lama untuk menyelesaikan masalah itu," kata Rasipin.

Pemidanaan dokter

Pasal 328 Draf RUU Kesehatan secara singkat menyatakan penegakan disiplin tenaga kesehatan tidak menghilangkan hak pasien untuk melaporkan tenaga kesehatan sebagai pelaku dugaan tindak pidana ke penegak hukum. Dengan kata lain, dokter dapat digugat secara pidana maupun perdata walaupun telah melalui sidang disiplin.

Persoalan pidana dan etik dokter sebenarnya sudah diatur dalam RUU Draf Kesehatan. Rancangan pasal itu mengatur adanya pembentukan Majelis Disiplin Tenaga Medis pada Pasal 316. Adapun, Pasal 321 menyatakan majelis tersebut bertugas untuk memeriksa dan memberikan keputusan terkait pengaduan pada tenaga kesehatan.

Pasal 322 Draf RUU Kesehatan menjelaskan keputusan Majelis Disiplin Tenaga kesehatan hanya dua, yakni melanggar disiplin dan tidak melanggar disiplin. Sanksi yang diberikan jika tenaga kesehatan melanggar adalah peringatan tertulis, mengikuti pendidikan, dan penonaktifan STR sementara.

Walau telah mendapatkan sanksi, Ayat (4) Pasal 322 Draf RUU Kesehatan menyatakan penegak hukum tetap dapat menghukum tenaga medis. Hal inilah yang dinilai sebagian kelompok membuka ruang adanya kriminalisasi terhadap dokter. 

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menjelaskan pasal tersebut sebenarnya sudah berlaku lama dan bukan hal baru. Ketentuan serupa sebelumnya telah tertuang dalam Undang-Undang No. 29-2004 tentang Praktik Kedokteran. Beleid tersebut mengatur bahwa setiap orang dapat mengadukan dokter maupun dokter gigi ke Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

"Kalau memang kekhawatirannya masalah perlindungan hukum, kenapa tidak dari dulu organisasi profesi bergerak dan berinisiatif untuk mengubah?” kata Syahril.

Menurut Syahril keberadaan RUU kesehatan yang baru justru menghadirkan sejumlah pasal yang melindungi tenaga kesehatan. Ia menyebut pasal perlindungan hukum ditujukan agar jika ada sengketa hukum, para tenaga kesehatan tidak langsung berurusan dengan aparat penegak hukum sebelum adanya penyelesaian di luar pengadilan, termasuk melalui sidang etik dan disiplin

Menurut Syahril, terdapat beberapa pasal baru perlindungan hukum yang diusulkan pemerintah. Pertama, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan yang tertuang dalam pasal 322 ayat 4 DIM pemerintah. Pasal ini mengatur tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum wajib mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Kedua, Perlindungan Untuk Peserta Didik yang tertuang dalam pasal 208E ayat 1 huruf a DIM pemerintah. Pasal ini mengatur peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan berhak memperoleh bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan.

Ketiga, Anti-Bullying yang tertuang dalam dua pasal yaitu Pasal 282 ayat 2 DIM dan Pasal 208E ayat 1 huruf d DIM pemerintah. Sedangkan hal keempat adalah proteksi dalam keadaan darurat yang tertuang dalam pasal 408 ayat 1 DIM pemerintah. Pasal ini menyebutkan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan KLB dan Wabah berhak atas perlindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugasnya. 

Keberadaan organisasi profesi

Dalam aksi yang digelar di depan gedung DPR, salah satu pasal yang disuarakan adalah soal posisi organisasi profesi. Menurut massa aksi, pasal 314 ayat (2) memungkinkan terjadinya marginalisasi organisasi profesi dan berpotensi mengamputasi peran organisasi profesi. Dalam Pasal disebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi.

"Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi."

Namun dalam Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan demikian, total kelompok tenaga kesehatan ada 48. Kelompok  yang menolak RUU menilai pasal tentang organisasi profesi membuat tenaga kesehatan bingung pilihan apa yang akan diambil pembuat kebijakan. Apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi untuk menaungi setiap jenis tenaga kesehatan. 

Menurut para penolak, saat ini beberapa profesi seperti dokter dan dokter gigi, atau dokter umum dan dokter spesialis masing-masing punya peran yang berbeda dan visi misinya pun berbeda. Bila digabungkan semua, maka organisasi profesi akan sangat gemuk dan rancu.

RUU Kesehatan dinilai juga akan mencabut peran organisasi profesi. Bila RUU Kesehatan disahkan, maka nakes hanya perlu menyertakan Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktek dan bukti pemenuhan kompetensi. Tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi organisasi profesi. Padahal rekomendasi organisasi profesi diyakini akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik itu sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.

Pendidikan dokter spesialis 

Hal lain dalam RUU Kesehatan yang dinilai penting menurut Kementerian Kesehatan adalah membuka ruang lahirnya lebih banyak dokter spesialis di Indonesia. Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan melalui RUU Kesehatan pendidikan dokter spesialis dapat dilakukan berbasis rumah sakit di bawah pengawasan kolegium dan Kemenkes.

“Nantinya, peserta didik yang mengikuti pendidikan berbasis rumah sakit tidak perlu membayar biaya pendidikan karena akan dianggap sebagai dokter magang dan justru memperoleh pendapatan,” ujar Syahril seperti dikutip dari laman resmi Kemenkes. .

Menurut Syahril RUU Kesehatan memfasilitasi  pendidikan spesialis melalui program proctorship. Dengan program ini dokter tidak perlu ke pusat pendidikan untuk mendapatkan pendidikan, tapi pengajarnya yang ke daerah untuk memberikan pendidikan di rumah sakit di daerah tersebut.

“Ini seperti skema di Inggris nantinya di mana jika ada daerah yang kekurangan dokter spesialis, maka dosennya yang diturunkan ke daerah tersebut untuk memberikan pendidikan,” kata Syahril.

Ia mencontohkan bila ada kekurangan dokter spesialis misalnya di Kalimantan, maka nanti pengajarnya yang akan diturunkan ke Kalimantan. Dengan begitu  proses pendidikan tidak akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Menurut Syahril mekanisme pendidikan spesialis berbasis rumah sakit juga akan menjamin proses masuknya lebih transparan dan berdasarkan test dan meritokrasi. 

Reporter: Andi M. Arief