Sejumlah pemerhati lingkungan hidup menilai negatif keputusan pemerintah untuk kembali melegalkan kegiatan ekspor pasir laut melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, mengatakan bahwa kegiatan pengerukan pasir laut sebelum ditutup sementara pada 2003 lalu berdampak pada menghilangnya pulau-pulau kecil di sekitar Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pada periode itu, hasil pengangkutan pasir di perairan Kepri dikirim ke perairan Batam.
"Kami dapat data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan bahwa penambangan pasir laut di tahun 2000-an, itu ada 26 pulau tenggelam terkena abrasi dan 115 pulau terancam tenggelam Tapi kami belum dapat update terkait pulau mana saja," kata Afdillah kepada Katadata.co.id, dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (13/6).
Dia menyebut, pengerukan material pasir di dasar laut dapat berimbas pada perubahan pola dasar laut yang dapat mempercepat pengikisan pulau-pulau karena tergerus oleh gelombang laut. "Penambangan pasir ini akan mempercepat proses tenggelamnya pulau tersebut," ujarnya.
Merujuk pada Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, definisi pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi.
Keputusan pemerintah untuk kembali membuka kegiatan pengerukan pasir laut berangkat dari maraknya praktik ilegal eksploitasi pasir laut.
Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa pemerintah perlu mengatur pengerukan pasir laut secara progresif agar pengadaan material reklamasi nantinya tidak bersumber dari kegiatan pengerukan ilegal.
Dia melanjutkan, pemerintah kini banyak mengerjakan proyek reklamasi di sejumlah daerah. Di antaranya reklamasi di pesisir perairan Banten, Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau hingga penambahan daratan di wilayah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.
Trenggono juga mengatakan bahwa ada daerah yang mengajukan pengerukan pada wilayah sedimentasi laut. Satu diantaranya yakni Pemerintah Daerah (Pemda) Nanggroe Aceh Darussalam.
Greenpeace menilai dalil tersebut cacat logika. Menurut Afdillah, pemberantasan kegiatan penambangan pasir laut ilegal dapat lebih efektif lewat peningkatan pengawasan dan pengenaan sanksi yang lebih ketat.
"Kalau ada praktik ilegal dan merusak, maka pengawasannya ditingkatkan supaya tidak merusak. Bukan malah diberikan izin untuk dilegalkan. Ini logika aneh dari pemerintah," kata Afdillah.
Senada, Sekretariat Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica, mengatakan bahwa argumen pemerintah untuk menutup kebocoran pengerukan pasir laut ilegal di dalam negeri lewat pelegalan aktivitas hanyalah cara terselubung untuk melegalkan praktik eksploitasi pasir laut terlarang itu.
"Logikanya mirip dengan langkah KKP saat melegalkan ekspor benih lobster. Karena banyak terjadi ekspor ilegal, maka dibuka ekspor benih lobsternya," kata Susan dihubungi secara terpisah.
Dia melanjutkan, pengerukan pasir laut akan menimbulkan dampak negatif pada masyarakat pesisir laut, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Selain masalah utama pada menurunnya hasil tangkapan laut, nelayan dan masyarakat pesisir akan menerima dampak sampingan berupa sebaran debu pasir dari kegiatan pengangkutan.
"Cerita yang sudah terjadi pada nelayan di Natuna, mereka merasa susah bernafas karena adanya aktivitas truk pasir yang lalu-lalang," ujarnya.
Susan juga menyebut bahwa praktik pengerukan pasir laut dapat menurunkan bobot massa laut. Penurunan bobot massa laut dapat memicu kenaikan permukaan air sehingga berpotensi menenggelamkan pulau secara bertahap. "Alasan pemerintah ada sedimentasi, tapi ada alasan ilmiah mengapa material itu tidak boleh diambil," kata Susan.