Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi dan verifikasi terkait dugaan kekerasan aparat keamanan terhadap murid sekolah saat bentrokan di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (7/9). Bentrokan tersebut terjadi karena warga sekitar menolak penggusuran tempat tinggal mereka menjadi proyek Rempang Eco City.
Sebanyak enam komisioner Komnas HAM terjun ke Rempang. Tim menuju SMP Negeri 22 Batam dan SD Negeri 24 Galang, yang siswanya menjadi korban gas air mata pada saat kejadian.
Komisioner Mediasi Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo mengatakan mereka menindaklanjuti informasi dari media massa. "Selain itu kami juga mendapat laporan dari masyarakat, bahwa banyak siswa SMP dan SD terkena gas air mata. Hal ini menimbulkan traumatik kepada siswa," ujar Mukti di Batam Kepulauan Riau, Sabtu (16/9).
Dia menjelaskan pihaknya sudah mendapat penjelasan langsung dari kepala sekolah maupun guru yang mengajar di sekolah tersebut terkait peristiwa 7 September.
"Apakah ini dibenarkan sesuai SOP (standar operasional prosedur), apakah ini ada pelanggaran, ini membutuhkan penyelidikan lebih lanjut," kata dia.
Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina mengatakan kepolisian sudah memberikan trauma healing kepada murid tersebut. Namun, mereka akan memastikan apakah siswa tersebut bisa terobati atau tidak, karena untuk memberikan trauma healing itu tidak cukup hanya satu kali.
Tidak cukup hanya dengan melihat apakah mereka sudah tertawa, ceria, dan beraktivitas seperti biasa. Karena yang terdampak saat kejadian itu tidak sedikit. "Jadi tidak sekali saja, harus melakukan asesmen mendalam oleh lembaga yang memiliki peran memberikan trauma healing," kata dia.
Ormas Protes Kekerasan di Rempang
Organisasi masyarakat mengecam penggusuran dan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap masyarakat Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Mereka menyoroti kekerasan kepada masyarakat yang berunjuk rasa menolak penggusuran rumah yang akan menjadi lahan proyek Rempang Eco City.
Beberapa organisasi yang memprotes proyek Rempang Eco City di antaranya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga Jaringan Gusdurian. PP Muhammadiyah meminta pemerintah mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional atau PSN.
Berikut deretan penjelasan ormas mengenai proyek Rempang Eco City:
Muhammadiyah Minta Rempang Eco City Dicabut dari Daftar PSN
PP Muhammadiyah menilai proyek Rempang Eco City merupakan Proyek Strategis Nasional atau PSN yang sangat bermasalah. Alasannya, payung hukumnya baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Proyek tersebut juga disebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak. PP Muhammadiyah pun menilai pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD yang menyebut tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap, sangat keliru. "Faktanya, masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1834," bunyi keterangan yang ditandatangani Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Membidangi Hukum, HAM, dan Hikmah Busyro Muqoddas seperti dikutip Kamis (14/9).
PP Muhammadiyah menilai pola pelaksanaan kebijakan yang tanpa konsultasi dan menggunakan kekuatan kepolisian dan TNI secara berlebihan dan cenderung terlihat brutal.
"Pemerintah terlihat ambisius membangun proyek bisnis dengan cara mengusir masyarakat yang telah lama hidup di Pulau Rempang, jauh sebelum Indonesia didirikan," bunyi keterangan PP Muhammadiyah.
PBNU Minta Pemerintah Tunda Proyek Rempang Eco City
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah untuk menunda sementara PSN di Pulau Rempang itu. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Keagamaan, Gus Fahrur meminta pemerintah mengevaluasi kembali pelaksanaan PSN di Pulau Rempang demi memberikan kemakmuran rakyat secara luas.
"Tidak memaksakan relokasi sebelum hal tersebut berjalan optimal," kata Gus Fahrur.
Tak hanya itu, Gus Fahrur juga meminta pemerintah memberi santunan dan biaya pengobatan untuk warga yang menjadi korban dari bentrokan di sekitar kawasan Pulau Rempang. Ia juga menuturkan, pemerintah juga harus mencegah tindakan represif oleh aparat ketika melakukan pengukuran lahan.
Jaringan Gusdurian Protes Kekerasan oleh Aparat
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid, mengecam kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat gabungan ketika pengukuran lahan. Dia meminta aparat menghormati hak asasi warga negara terutama hak atas keadilan dan perlakuan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
“Meminta kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk menarik aparat gabungan dari Pulau Rempang serta melakukan penyelidikan dan sanksi bagi aparat yang melakukan kekerasan dan tindakan ugal-ugalan terhadap warga sipil,” demikian pernyataan dalam keterangan tertulis dikutip pada Kamis (14/9).
Alissa Wahid menyoroti aparat yang menembakan gas air mata kepada penduduk Rempang. Ia menuturkan, bentrokan di Pulau Rempang sama sekali tak mencerminkan demokrasi. Seharusnya negara mampu memberikan perlindungan kepada setiap warga negara.
“Gas air mata tidak boleh digunakan sembarangan, apalagi kepada rakyat yang sedang mempertahankan kelangsungan hidup. Harus ada alasan kuat. Apa tidak belajar dari kasus Kanjuruhan?” kata Alissa.