Komisi Pemilihan Umum atau KPU menggandeng sejumlah pakar untuk mengkaji putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materi terkait Pasal 11 Ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023. Putusan itu meminta KPU mencabut pasal yang dianggap memberi kesempatan bagi eks napi koruptor untuk maju sebagai caleg.
"Kami akan membahas langkah-langkah pascaputusan MA 28/2023 terkait syarat masa jeda mantan terpidana pencabutan hak politik," kata Afifuddin kepada wartawan, Senin (2/10).
Menurut Afifuddin pembahasan dengan para pakar tidak hanya berkaitan dengan pencabutan pasal yang berkaitan dengan status caleg yang merupakan bekas narapidana korupsi. KPU juga akan mengkaji dampak dari putusan MA 24/2023 terkait 30% keterwakilan perempuan.
Afifuddin mengungkapkan sejumlah pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang dihadirkan yaitu Bayu Dwi Anggono, Umbu Rauta, Jimmy Z Usfunan, Agus Riewanto, dan Oce Madril. KPU menyatakan akan membicarakan sejumlah hal yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan MA dan dampaknya terhadap pelaksanaan pemilu.
Sebelumnya, gugatan terkait eks mantan napi tersebut dilayangkan oleh Perludem, Indonesia Corruption Watch serta dua mantan pimpinan KPK Saut Situmorang dan Abraham Samad. Mahkamah Agung pun mengabulkan gugatan judicial review terhadap Pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10 tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU No 11 Tahun 2023 tersebut.
Dalam putusan, MA pun menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.
MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam pertimbangan hukum, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil pemilu.
MA menyebut tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif. Sementara itu tujuan pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis.
Dalam putusannya MA berpandangan bahwa KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Menurut MA, pedoman jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan.