Jokowi Dianggap Kurang Serius Dorong PNS Netral Jelang Pemilu 2024
Presiden Joko Widodo mengingatkan netralitas pegawai negeri sipil atau PNS selama Pemilu 2024 mendatang. Ia meminta PNS alias ASN tidak memihak salah satu calon presiden dan calon wakil presiden.
Jokowi mengancam bila ASN atau Pj Kepala Daerah yang terbukti tidak netral, Kepala Negara takkan segan mencopot jabatan mereka. “Saya evaluasi harian, hati-hati. Begitu bapak ibu miring-miring, saya ganti,” kata Jokowi saat pengarahan di Istana Negara, Jakarta, Senin (30/10).
Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada Nyarwi Ahmad menyatakan pernyataan Jokowi ini tidak tercermin dari perilakunya. Dia mengkritik Jokowi kurang serius mengusung netralitas dengan membiarkan para pejabat publik di era Joko Widodo yang punya kuasa luar biasa dan terkait dengan Pemilu 2024.
“Jokowi harusnya enggak sekedar memberi ucapan, tapi juga memberi contoh, termasuk membangun sistem yang lebih baik soal netralitas,” kata Nyarwi dalam sambungan telepon dengan Katadata.co.id, Rabu (1/11).
Ada dua menteri yang maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden yakni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menkopolkam Machfud MD. Selain itu dua kepala daerah yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Walikota Solo Gibran Rakabuming. Nyarwi mengatakan posisi mereka akan menyulitkan anak buahnya yang berstatus ASN atau PNS untuk netral.
"Menteri dan pejabat kepala daerah itu pejabat publik, yang membawahi banyak ASN. Akan berdampak kepada ASN karena mereka harus loyal ke atasannya,” kata dia.
Berbeda dengan Nyarwi, pakar politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menanggapi isu netralitas Jokowi ini dengan optimistis. Dia menyatakan netralitas bisa terjaga bila Jokowi mampu berdiri di tengah atau tak berpihak.
Jokowi sebagai kepala negara sudah seharusnya memberikan peringatan pada TNI, Polisi, dan ASN, sudah baik. Namun, dia juga perlu menempatkan diri secara netral.
“Di situlah jiwa kenegaraan Jokowi akan diuji,” kata Ujang. “Saya lihat, presiden akan melangkah dengan benar ke depan. Jangan sampai salah soal netralitas itu.”
Urgensi Revisi Undang-undang Kementerian Negara
Terkait netralitas dan kuasa pejabat publik yang dianggap luar biasa, Nyarwi menyarankan adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 23 tertulis menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta, dan pimpinan organisasi yang dibiayai APBN.
“Tapi enggak spesifik ini ke pejabat negara yang bagaimana, padahal penting karena di Indonesia, menteri itu ada langsung dibawah presiden. Belum lagi ada banyak petinggi partai politik yang jadi menteri di Indonesia,” kata Nyarwi.
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) ini meminta agar ada beleid yang fokus membahas bagaimana seorang pejabat publik harus bersikap menjelang Pemilu.
"Misalnya, apakah seorang menteri harus mundur dari jabatannya bila ingin memberi dukungan atas pasangan calon presiden dan calon wakil presiden? Sebab aturan serupa sudah cukup kuat diberlakukan untuk Kepala Negara," kata Nyarwi.