Hasil Putusan MK di Pilpres 2024: Tolak 6 Dalil, 3 Hakim Beda Pendapat
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) selesai membacakan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 pada Senin (22/4). Sidang yang berlangsung lebih dari enam jam itu memberi lampu hijau pada Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka melenggang sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2024-2029.
Dalam putusan setebal 1.108 halaman itu, hakim menolak seluruh permohonan yang dilayangkan oleh pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Putusan PHPU pilpres dibuat MK berdasarkan dua gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk gugatan dari Anies - Muhaimin. Sementara yang dilayangkan paslon Ganjar-Mahfud teregistrasi dengan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024.
Dalam permohonannya, kedua paslon itu meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024. Keputusan KPU itu menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Selama pelaksanaan sidang, dua pasangan calon yang menjadi pemohon hadir mendengarkan secara langsung. Sementara Prabowo dan Gibran tidak hadir di lokasi. Sidang diikuti oleh delapan hakim MK dan dipimpin oleh hakim Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, hakim membagi perkara yang diajukan oleh pemohon menjadi 6 dalil berdasarkan urgensi dari pokok-pokok gugatan. Dalil itu terdiri dari independensi, keabsahan pencalonan presiden dan wakil presiden, bantuan sosial, mobilisasi/netralitas pejabat/aparatur negara, prosedur penyelenggaraan pemilu, dan pemanfaatan aplikasi sistem informasi dan rekapitulasi elektronik (Sirekap).
MK Tolak Dalil Penyelenggara Pemilu tidak Independen
Mahkamah Konstitusi atau MK menolak dalil yang diajukan pemohon terkait independensi lembaga penyelenggaraan Pemilu. Mereka mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak independen karena ada empat orang anggota seleksi yang berasal dari unsur pemerintahan.
Pihak pemohon mengutip Pasal 22 Ayat 1 huruf a jo pasal 117 UU Pemilu, bahwa harusnya unsur pemerintah di anggota tim seleksi maksimal tiga orang. MK kemudian membalas bahwa Keputusan Presiden 120/P Tahun 2021 tidak mencantumkan unsur dari 11 orang anggota tim seleksi yang dimaksud.
“Setelah membaca nama anggota tim seleksi dalam Kepres itu, pihaknya tidak bisa menilai jumlah yang berasal dari unsur pemerintah itu lebih dari tiga orang,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).
Bahkan, menurutnya tidak ada bukti yang meyakinkan kalau nama yang didalilkan kubu Anies benar-benar unsur pemerintah atau sebaliknya. Enny menilai nama itu dipilih karena kemampuan mereka masing-masing.
Ia juga menyebut nama Poengky Indarti selaku salah satu anggota tim seleksi yang juga anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Hakim MK itu bilang, Poengky dipilih menjadi anggota Kompolnas sebagai wakil dari unsur tokoh masyarakat.
Di sisi lain, Enny juga menyentil DPR yang tidak berkomentar terkait komposisi tim seleksi anggota KPU. Padahal, menurutnya sebagian fraksi DPR adalah perpanjangan tangan partai politik yang mendukung pemohon. Jadi, mestinya mengajukan keberatan sejak awal.
Hakim MK kemudian menyatakan sulit bagi mereka untuk menemukan hubungan antara jumlah unsur pemerintah dalam tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu dengan kemampuan mereka menjalankan tugas. Kemudian, sulit juga menemukan hubungan jumlah unsur pemerintah dalam tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu terhadap perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilu 2024.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon ihwal pengangkatan tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu oleh Presiden melanggar Pasal 22 Ayat 3 UU Pemilu karena memasukkan unsur pemerintah lebih dari tiga orang adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Enny.
MK Tolak Dalil Pencalonan Gibran Tidak Sah
Dalam pertimbangan yang dibacakan, MK mengatakan dalil yang diajukan pemohon mengenai keabsahan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden di pilpres 2024 tidak sah tidak tepat. “Menurut mahkamah tidak terdapat permasalahan dalam keterpenuhan syarat tersebut bagi Gibran Rakabuming Raka selaku calon wakil presiden dari pihak terkait dan hasil verifikasi ,” ujar Arief Hidayat.
Menurut hakim Arief Hidayat yang membacakan putusan disebutkan bahwa persoalan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden telah melalui prosedur. Komisi Pemilihan Umum menurut MK telah melalui mekanisme dengan melakukan perubahan putusan.
Selain itu MK menyatakan tidak ada bukti yang meyakinkan mahkamah bahwa telah terjadi intervensi dalam perubahan syarat pasangan calon dalam pemilu presiden wakil presiden tahun 2024. Selanjutnya, hakim MK melihat tindakan termohon yang dianggap pemohon langsung menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanpa mengubah PKPU 19/2023 adalah tidak melanggar hukum.
Hal itu lantaran apabila termohon tidak langsung melaksanakan putusan mahkamah konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023, justru akan mengganggu tahapan pelaksanaan Pemilu dan berpotensi menciptakan pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Selanjutnya dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, tindakan termohon dalam memutuskan verifikasi persyaratan pasangan calon pada tanggal 28 oktober 2023, dengan mengeluarkan Berita Acara Verifikasi dokumen persyaratan bakal calon presiden dan wakil presiden (Model BA.VerifikasI.PPWP-KPU) dinilai sudah tepat.
"Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon yang menyatakan intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil pemohon mengenai dugaan adanya ketidaknetralan pemohon untuk memohon agar mahkamah membatalkan (mendiskualifikasi) pihak terkait sebagai peserta pemilu presiden dan wakil presiden 2024 tidak beralasan menurut hukum,” ujar hakim.
Dalam putusannya, Suhartoyo mengatakan delapan majelis hakim telah membuat kesimpulan dengan mencermati sejumlah fakta yang muncul dalam persidangan. Hakim juga telah mencermati dua gugatan PHPU yang diajukan oleh pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
MK Tolak Dalil Pemberian Bansos Pengaruhi Perolehan Suara
Dalam pertimbangannya hakim MK menilai tak terdapat korelasi dalam dalil bantuan sosial dengan peningkatan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Hakim konstitusi Arsul Sani yang membacakan hal itu menyebut pemohon tak dapat meyakinkan mahkamah mengenai bantuan yang dimaksud merupakan bansos oleh Kementerian Sosial ataukah bantuan kemasyarakatan oleh Presiden yang bersumber dari dana operasional Presiden.
"Terhadap dalil pemohon menurut mahkamah tidak terdapat alat bukti yang secara empiris menunjukkan bahwa bansos nyata-nyata telah mempengaruhi/mengarahkan secara paksa pilihan pemilih," kata Arsul dalam sidang, Senin (22/4).
Mahkamah menilai, APBN ditetapkan dalam undang-undang setiap tahun anggaran, in casu APBN 2024 ditetapkan dalam UU 19/2023 tentang APBN TA 2024. Berdasarkan hal itu, MK menilai penggunaan anggaran Perlinsos, khususnya anggaran bansos menurut mahkamah tidak terdapat kejanggalan atau pelanggaran peraturan sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon.
Lebih jauh MK menyatakan pelaksanaan anggaran telah diatur secara jelas mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, termasuk pelaksanaan anggaran bansos yang disalurkan secara sekaligus. Kemudian, yang langsung oleh Presiden dan Menteri merupakan bagian dari siklus anggaran yang telah diatur penggunaan dan pelaksanaannya.
"Terhadap dalil pemohon yang mengaitkan bansos dengan pilihan pemilih, Mahkamah tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dengan peningkatan perolehan suara salah satu pasangan calon," kata Arsul.
MK Tolak Dalil Aparat Negara Tak Netral
MK menyatakan tidak ada bukti kuat Presiden Joko Widodo cawe-cawe atau ikut campur dalam Pemilu 2024. Dalil ini diajukan kubu Anies-Muhaimin selaku pihak pemohon dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pilpres 2024.
Dalil ini diawali dengan pernyataan bahwa kegagalan rencana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, berujung Presiden mendukung salah satu capres-cawapres. Pasangan yang dimaksud adalah Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka yang diposisikan sebagai pengganti presiden petahana.
“Menurut Mahkamah kebenarannya tidak dapat dibuktikan lebih lanjut oleh pemohon,” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).
Daniel mengatakan, pihak pemohon tidak menguraikan lebih lanjut apa makna dan dampak cawe-cawe ini. Selain itu, mereka tidak menunjukkan bukti tindakan cawe-cawe itu.
Mahkamah membenarkan bahwa ada bukti berupa artikel dan rekaman video berita dari media massa yang diberikan dari pemohon. Bukti ini menunjukkan kegiatan dan pernyataan presiden yang ingin cawe-cawe dalam Pemilu 2024.
“Namun pernyataan demikian, menurut Mahkamah, tanpa bukti kuat dalam persidangan, tidak dapat begitu saja ditafsirkan sebagai kehendak untuk ikut campur dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dengan menggunakan cara-cara di luar hukum dan di luar konstitusi,” kata Daniel.
Mahkamah juga menyatakan tidak ada bukti adanya hubungan antara bentuk cawe-cawe yang dimaksud pemohon dengan potensi perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Daniel.
Dalil Prosedur Penyelenggaraan Pemilu
Dalam pertimbangannya MK menilai endorsement atau dukungan yang dilakukan oleh Presiden maupun wakil presiden dalam kontestasi Pemilihan Presiden tak melanggar hukum. Meski begitu tindakan itu dinilai berpotensi timbulkan masalah etika.
Hal itu diungkapkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Ridwan Mansyur saat sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, pada Senin (22/4). Ridwan mengatakan, dari sisi hukum positif mengenai Pemilu, saat ini pola 'komunikasi pemasaran' juru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat atau paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum.
"Namun, endorsement atau pelekatan citra diri demikian, sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara," kata Ridwan.
Ridwan mengatakan, MK menilai sebagai presiden Joko Widodo seharusnya berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu lantaran pilpres dilakukan untuk mencari sosok yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
"Menurut mahkamah, mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan atau dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau paslon dalam pemilu," kata Ridwan.
Ia mengatakan, kesediaan Presiden serta para petahana kepala daerah merupakan faktor utama bagi terjaganya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia. Namun demikian, kata Ridwan, kerelaan adalah wilayah moralitas, etis, ataupun fatsun, sehingga posisi yang berlawanan dengannya, yaitu ketidakrelaan.
Ridwan menyebut MK tidak dapat membawa persoalan etik dengan sanksi hukum kecuali apabila wilayah kerelaan demikian telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang.
Di sisi lain MK menilai tidak ada nepotisme yang dilakukan Presiden Jokowi untuk putranya, Gibran Rakabuming Raka di pemilihan presiden 2024. Menurut MK, ada perbedaan definisi nepotisme yang didalilkan pihak pemohon dengan yang dibuat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak terkait.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) mengatakan menurut pihak terkait hal yang dimaksud nepotisme adalah jika pejabat mengangkat anak/saudaranya (appointed). Sedangkan jika sang anak dipilih rakyat (elected) maka hal demikian tidak termasuk nepotisme.
“Larangan ini tidak boleh dimaknai anak pejabat tidak boleh berkarir,” kata Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam sidang pembacaan putusan PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).
Mahkamah juga menyatakan tidak memperoleh keyakinan atas kebenaran dalil soal nepotisme dilakukan Jokowi lantaran tidak ada penguraian lebih lanjut oleh pemohon. Menurut MK, jabatan wakil presiden yang diperoleh Gibran Rakabuming Raka bukan jabatan yang ditunjuk langsung, namun melalui pemilihan. Mereka menyebut, larangan nepotisme adalah jabatan yang dilakukan dengan ditunjuk langsung.
“Artinya, jabatan yang diisi melalui pemilihan umum tidak dapat dikualifikasi sebagai bentuk nepotisme,” ujar Daniel.
Ia juga menjelaskan MK sudah menghapus ketentuan yang melarang calon kepala daerah punya konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan yang dimaksud adalah pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pemilukada).
“Meskipun putusan tersebut terkait dengan pengisian pencalonan kepala daerah, namun dengan telah dipersamakan antara rezim pemilihan kepala daerah dengan pemilihan umum oleh Mahkamah, relevan untuk dijadikan substansi dalam menjawab dalil pemohon a quo,” kata Daniel lagi.
Sebelumnya, pihak pemohon mencatut tindakan Jokowi melanggar tiga peraturan. Pertama, Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kedua, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU 28/1999). Ketiga, Pasal 282 UU Pemilu.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai pelanggaran atas Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, UU 28/1999, dan Pasal 282 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Daniel.
MK Tolak Dalil Adanya Kecurangan Sirekap
Mahkamah Konstitusi telah menolak dalil kubu Anies-Muhaimin terkait perubahan perolehan suara di Sirekap. Namun, hakim MK juga menyarankan Sirekap dikelola dan diaudit oleh pihak swasta untuk menjaga validitas datanya.
Sebelumnya, kubu 01 mengakukan gugatan atas dugaan kecurangan dalam Sirekap. Namun, Mahkamah memutuskan dalil pemohon yakni kubu AMIN terkait Sirekap tidak diterima. "Tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim MK Guntur Hamzah dalam sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4).
Namun, ia berpendapat perubahan data dalam laman Sirekap sudah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sirekap yang harusnya menjadi sarana informasi terkait Pemilu, justru menimbulkan asumsi yang berkembang liar di masyarakat.
“Terlebih, keputusan KPU untuk menghentikan sementara Sirekap semakin menambah kesan dan asumsi yang negatif di masyarakat,” kata Guntur.
Guntur mengatakan masalah ini menunjukkan potensi kesalahan dalam penghitungan suara dan berdampak pada hasil pemilu. Maka Sirekap dianggap tidak memenuhi standar yang dibutuhkan untuk sebuah sistem rekapitulasi Pemilu.
Guntur menyayangkan kejadian ini karena Sirekap sudah melalui proses audit oleh Direktorat Direktorat Alih dan Sistem Audit Teknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Siber dan Sandi Negara. Kemudian, Sirekap adalah perbaikan dari aplikasi Situng yang dipakai tahun 2019, sehingga harusnya lebih baik.
Oleh sebab itu, ia memberikan pendapat Sirekap perlu dikelola pihak lain di masa depan. "Perlu dibuka kemungkinan pengelolaan Sirekap dilakukan oleh lembaga yang bukan penyelenggara pemilu,” kata
Tiga Hakim Beda Pendapat
Putusan yang diambil MK mendapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari tiga hakim yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat. Saldi Isra dalam pembacaan pertimbangannya menyebutkan bahwa terdapat beberapa kekosongan hukum dalam menentukan putusan sesuai dengan dalil yang diajukan oleh pemohon.
Ia mencontohkan tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai bagaimana seharusnya seorang presiden bertindak dalam memberikan dukungan dalam kontestasi pilpres. Ia menyebut terdapat kemungkinan adanya kamuflase yang dilakukan oleh Presiden antara kepentingan negara dengan kepentingan pribadi. Namun menurut dia tidak ada aturan yang baku untuk memberikan penilaian.
Meski begitu Saldi mengatakan sebagai hakim ia tidak bisa menutup mata tentang adanya pembagian bansos yang intens digelar menjelang pemilu. Selain itu juga adanya keterlibatan menteri aktif dalam proses kampanye. Ia menyorot tidak dilibatkannya Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam pembagian bansos.
“Terdapat kampanye terselubung dalam kegiatan pembagian bansos,” ujar Saldi. Padahal menurut dia dalam pemberian bansos seharusnya menteri tidak memberikan pesan khusus.
Hakim Arief dan Enny juga menyatakan pilpres perlu diulang untuk sebagian wilayah. Menurut Arief, amar putusan seharusnya menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilu Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Kemudian, dia menilai, Mahkamah seharusnya memerintahkan kepada KPU untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan yang disebutkan dalam waktu 60 hari terhitung sejak putusan diucapkan. Lebih lanjut, Arief berpendapat Mahkamah seharusnya memerintahkan Bawaslu mengawasi pemungutan suara ulang; memerintahkan Polri dan TNI menjaga keamanan dan keterlibatan dalam proses pemungutan suara ulang secara profesional dan netral.
Adapun hakim Enny meyakini bahwa telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagiannya berkelindan dengan pemberian bantuan sosial (bansos) yang terjadi pada beberapa daerah, yaitu Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ujar Enny.