Kekurangan Dokter Spesialis Picu Kehilangan Pendapatan Negara Rp 180 T

ANTARA FOTO/Gusti Tanati/Spt.
Warga melintas di depan Rumah Sakit Dok II, Kota Jayapura, Papua, Kamis (31/8/2023). Rumah sakit Pemerintah Daerah RSUD Jayapura, RSUD Abepura dan RSJD Abepura saat ini ti
25/4/2024, 12.13 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyoroti ketersediaan dokter spesialis di dalam negeri yang masih minim. Menurut Jokowi, jumlah dokter spesialis yang terbatas menjadi salah satu penyebab negara kehilangan pendapatan negara.

"Ini bolak balik saya sampaikan, 1 juta lebih masyarakat kita berobat ke luar negeri. Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, Eropa, Amerika. Dan kita kehilangan US$ 11,5 miliar, Itu kalau dirupiahkan Rp 180 triliun," kata Jokowi saat memberikan sambutan Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) tahun 2024 di ICE BSD Tangerang, seperti dikutip Kamis (25/4). 

Secara umum, Jokowi juga mengeluhkan kondisi rasio dokter Indonesia yang saat ini berada di posisi 147 dunia dengan nilai 0,47. Dia prihatin dengan kondisi dokter di dalam negeri yang masih terbatas. 

"Memang problem terbesar kita adalah dokter dan dokter spesialis yang kurang. Ini persoalan besar kita," ujarnya.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dihimpun Index Mundi pada 2019 melaporkan bahwa Indonesia hanya memiliki 0,47 dokter per 1.000 penduduk. Rasio dokter Indonesia itu tergolong buruk, jauh di bawah standar WHO yang minimalnya 1 dokter per 1.000 penduduk.

Kondisi tersebut berimbas pada kualitas kesehatan domestik yang masih terbatas dalam hal spesialisasi layaknya praktik Magnetic Resonance Imaging (MRI), Catheterization laboratory (cath lab) maupun Mammogram. Ketiga metode itu merupakan teknik pemeriksaan untuk memvisualisasikan penyakit dalam seperti arteri jantung, kanker dan stoke.

Menurut Jokowi pengembangan kualitas kesehatan domestik terkendala lantaran Indonesia belum banyak punya spesialis terutama untuk metode pengobatan baru. Atas alasan itu, pemerintah akan terus mengejar ketertinggalan jumlah dokter spesialis. 

Dampak Kurangnya Dokter Spesialis

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat kebutuhan dokter spesialis meliputi dokter penyakit jantung dan pembuluh darah, saraf atau neurologi, obstetri dan ginekologi (obgin). Dokter spesialis juga berkaitan dengan kesehatan anak, penyakit dalam, bedah, anestesi dan terapi intensif, radiologi, dan patologi klinik.

Kemenkes pada 2022 lalu menguraikan, kekurangan terbesar pada dokter spesialis obgyn yang mencapai 3.941 dokter. Lalu spesialis kesehatan anak sebanyak 3.662 dokter spesialis, dan penyakit dalam 2.581 dokter.

Minimnya dokter spesialis saat ini berkaitan dengan tingkat kematian masyarakat akibat penyakit tidak menular. Jokowi menyebut ada 333 ribu kematian per tahun akibat stroke, 296 ribu kematian per tahun karena jantung dan 297 ribu kematian per tahun akibat kanker. "Inilah pekerjaan besar kita," ujar Jokowi.

Di Pulau Jawa, jumlah dokter spesialis mencapai 34.763 per 6 Desember 2022, berdasarkan data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Ini berarti kira-kira ada 22 dokter spesialis untuk setiap 100.000 penduduk di Pulau Jawa. 

Sementara di wilayah Maluku dan Papua, hanya terdapat 615 dokter spesialis. Ini berarti hanya ada kira-kira tujuh dokter spesialis untuk setiap 100.000 penduduk di wilayah timur Indonesia tersebut.

Guna menaikkan jumlah dokter spesialis di dalam negeri, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Jokowi berharap revisi UU Kesehatan itu dapat mempermudah dokter untuk melanjutkan profesi sebagai dokter spesialis, terutama lewat kebijakan penyelarasan institusi pendidikan tinggi dengan rumah sakit untuk menghasilkan tenaga medis dokter umum maupun dokter spesialis.

"Universitas maupun rumah sakit yang ditunjuk itu betul-betul bisa menghasilkan dokter dan dokter spesialis, karena di lapangan banyak rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis," ujar Jokowi.

Ketentuan itu menetapkan rumah sakit dapat menjadi fasilitas pendidikan dalam mencetak dokter spesialis dan subspesialis. Rumah sakit pendidikan juga diatur menjadi lokasi seorang sarjana kedokteran untuk mendapatkan pendidikan profesi.

Pasal 187 Ayat 2 UU Kesehatan menjelaskan, rumah sakit pendidikan memiliki fungsi tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu. Adapun, rumah sakit pendidikan dapat menjadi lokasi pendidikan tenaga kesehatan.

Lebih jauh, rumah sakit pendidikan dapat mencetak psikolog klinis, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, terapis fisik, tenaga teknis medis, teknisi biomedika, dan tenaga kesehatan tradisional. Pasal 187 Ayat 4 menyatakan rumah sakit pendidikan dapat menjadi penyelenggara utama pendidikan. Namun rumah sakit tersebut tetap harus bekerja sama dengan perguruan tinggi.



Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu