Vaksin Covid-19 yang dikeluarkan AstraZeneca menjadi sorotan usai munculnya sejumlah gugatan class action di pengadilan Inggris. Perhatian menjadi kian banyak setelah AstraZeneca mengakui bahwa vaksinnya bisa menimbulkan sindrom langka seperti disampaikan dalam dokumen persidangan.
“Raksasa farmasi ini digugat class action atas klaim bahwa vaksinnya yang dikembangkan bersama University of Oxford, menimbulkan kematian dan cedera serius dalam banyak kasus,” tulis The Telegraph dikutip Jumat (3/5).
Gugatan pertama di Inggris dilayangkan tahun lalu oleh Jamie Scott. Ayah beranak dua ini divaksin pada April 2021 kemudian menderita pembekuan darah dan pendarahan otak. Akhirnya, ia menderita cedera otak permanen.
Menanggapi gugatan Scott, pada Mei 2023 AstraZeneca tidak setuju bahwa TTS disebabkan oleh vaksin yang diberikan pada dosis standar. Namun pada dokumen legal mereka disebut bahwa vaksin bisa, dalam kasus yang sangat jarang, menimbulkan TTS. Mekanisme penyebabnya pun belum diketahui.
“Lebih jauh lagi, TTS juga bisa terjadi tanpa adanya vaksin AZ (atau vaksin apapun). Penyebab dalam setiap kasus individual akan bergantung pada bukti ahli,” kata kuasa hukum Astra Zeneca.
Dokumen legal yang disampaikan ke Pengadilan Tinggi Februari lalu mengatakan bahwa vaksin Covid dalam situasi yang sangat jarang bisa saja menimbulkan TTS. TTS adalah singkatan dari Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome. Penyakit ini menyebabkan beberapa orang mengalami pembekuan darah dan penurunan trombosit dalam darah.
Temuan Dampak Vaksin AstraZeneca di Indonesia
Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari memastikan tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia yang memicu pembekuan otak di Indonesia. Sindrom ini disebut-sebut terjadi sebagai efek samping pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
"Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulai uji klinik tahap 1, 2, 3 dan 4, termasuk vaksin Covid-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar," kata Hingky.
Menurut Hingky kesimpulan itu didasarkan pada laporan berdasarkan surveilans aktif dan pasif. KIPI juga melakukan pemantauan terhadap keamanan vaksin yang masih terus dilakukan setelah vaksin beredar sampai saat ini.
Hingky menjelaskan, sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) Komnas KIPI bersama Kemenkes dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai. Termasuk memantau sindrom trombosis dengan trombositopenia (thrombosis with thrombocytopenia syndrome/TTS) yang berkaitan dengan vaksin Covid-19.
Hinky mengatakan survei dilakukan di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun. Pemantauan dilakukan sejak Maret 2021 hingga Juli 2022. Menurut Hingnky pemantauan itu melebihi batas waktu 1 tahun yang diberikan.
“jadi kami lanjutkan beberapa bulan supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” kata Hingky.
Gejala dan Tanda Efek Samping Vaksin AstraZeneca
Menurut Hinky, Indonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi Covid-19. Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.
Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini, dengan laporan tidak ditemukan laporan kasus TTS.
Hingky menjelaskan jika terjadi pembekuan pada pembuluh otak, maka muncul gejala pusing, di saluran cerna mual dan di kaki pegel. Gejala lain yang ditunjukkan berupa bercak biru pada tempat suntikan yang diakibatkan jumlah trombosit menurun.
"Ada perdarahan, biru-biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin," katanya.
Ia meminta masyarakat aktif melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI kepada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat. Ia berkeyakinan petugas di puskesmas memiliki pengalaman memadai untuk menangani gejala tak biasa setelah vaksin.