KPK Usut Korupsi Bansos Presiden, Kerugian Ditaksir Rp 125 Miliar

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/nym.
Pekerja menjahit karung beras paket Bansos Pangan kemasan 10 kilogram di gudang Bulog Serang, Banten, Kamis (25/4/2024).
27/6/2024, 10.48 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mulai mengusut kasus korupsi bantuan sosial beras Presiden yang dibagikan di Jabodetabek pada 2020 lalu. Berdasarkan perhitungan KPK, kerugian negara bisa mencapai Rp 125 miliar. Perhitungan ini masih berjalan dan belum final

 “Ini merupakan pengembangan perkara distribusi bantuan sosial yang baru-baru ini sudah diputus oleh Pengadilan Tipikor. Jadi perkaranya itu pengadaan bansos presiden di tahun 2020,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, Rabu (26/6).

 Tessa menjelaskan motif korupsi ini berada pada pengadaan. Pemerintah mengurangi kualitas bansos beras tersebut sehingga tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan.

Korupsi bansos terkuak karena operasi tangkap tangan atau OTT eks Menteri Sosial Juliari Batubara pada 2020 lalu. Kala itu, Juliari terbukti menerima suap senilai Rp 32,4 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial sembako dalam rangka penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

 “Waktu OTT Juliari itu, banyak alat bukti yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani, diserahkanlah ke penyelidikan,” kata Tessa.

Dugaan korupsi bansos Presiden berkaitan dengan kasus penyaluran keluarga penerima manfaat atau KPM pada program keluarga harapan atau PKH 2020–2021 di Kemensos. Bedanya, penyaluran KPM pada PKH bermasalah di penyaluran sementara bansos presiden terkait pengadaan.

Duduk Perkara Kasus Korupsi Kemensos

Dalam perkara ini KPK juga sudah menetapkan tiga orang tersangka terkait kasus korupsi Kemensos. Mereka ialah Direktur Utama Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020 Ivo Wongkaren, Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada Roni Ramdhani, dan General Manager PT Trimalayan Teknologi Persada Richard Cahyanto.

Wakil Ketua KPK, Alex Marwata, kala itu menceritakan konstruksi perkara diduga terjadi pada sekitar Agustus 2020. Saat itu, Kementerian Sosial mengirimkan surat pada PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) untuk dilakukan audiensi dalam rangka penyusunan rencana anggaran kegiatan penyaluran bantuan sosial beras di Kemensos.

Dalam audiensi tersebut, PT BGR Persero diwakili Budi Susanto selaku Direktur Komersial menyatakan kesiapan perusahaannya untuk mendistribusikan bantuan sosial beras pada 19 Provinsi di Indonesia. Sebagai langkah persiapan, Budi Susanto memerintahkan Vice President Operasional PT Bhanda Ghara Reksa April Churniawan untuk mencari rekanan yang akan dijadikan konsultan pendamping.

Mendengar adanya informasi kebutuhan rekanan tersebut, Ivo, Roni dan Richard memasukkan penawaran harga menggunakan PT Damon Indonesia Berkah (Persero). Penawaran itu disetujui Budi Susanto yang berlanjut pada kesepakatan harga dan lingkup pekerjaan untuk pendampingan distribusi bansos beras.

Kemensos memilih PT Bhanda Ghara Reksa sebagai distributor bansos beras dan berlanjut dengan penandatanganan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penyaluran bantuan sosial beras untuk KPM-PKH dalam rangka penanganan dampak Covid 19 dengan nilai kontrak Rp 326 Miliar. Pihak PT Bhanda Ghara Reksa Persero melakukan penandatanganan perjanjian diwakili Direktur Utama Muhammad Kuncoro Wibowo.

Agar realisasi distribusi bansos beras dapat segera dilakukan, April Churniawan atas sepengetahuan Muhammad Kuncoro dan Budi Susanto secara sepihak menunjuk PT Primalayan Teknologi Persada milik Richard tanpa didahului dengan proses seleksi untuk menggantikan PT DIB Persero yang belum memiliki dokumen legalitas jelas terkait pendirian perusahaannya.

Rekayasa tersebut dilakukan atas sepengetahuan Muhammad Kuncoro, Budi Susanto, April, Ivo, Richard dan Roni. Selain itu, Ivo dan Richard juga ditunjuk menjadi penasehat PT Primalayan Teknologi Persada agar dapat meyakinkan PT Bhanda Ghara Reksa mengenai kemampuan dari PT Primalayan Teknologi Persada.

Dalam penyusunan kontrak konsultan pendamping antara PT Bhanda Ghara Reksa dengan PT Primalayan Teknologi Persada tidak dilakukan kajian dan perhitungan yang jelas dan sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh MKW ditambah dengan tanggal kontrak juga disepakati untuk dibuat mundur.

Atas ide Ivo, Richard dan Roni, PT Primalayan Teknologi Persada membuat satu konsorsium sebagai formalitas dan tidak pernah sama sekali melakukan kegiatan distribusi bansos beras. Periode September 2020 - Desember 2020, Roni menagih pembayaran uang muka dan uang termin jasa pekerjaan konsultan ke PT Bhanda Ghara Reksa.

Ia juga telah membayar sekitar Rp 151 miliar ke rekening bank atas nama PT PT Primalayan Teknologi Persada. Penyidik KPK juga menemukan rekayasa beberapa dokumen lelang dari PT Primalayan Teknologi Persada dengan kembali mencantumkan backdate.

Periode Oktober 2020-Januari 2021, terdapat penarikan uang sebesar Rp 125 Miliar dari rekening PT Primalayan Teknologi Persada yang penggunaannya tidak terkait sama sekali dengan distribusi bantuan sosial beras. Penyidik KPK memperkirakan perbuatan para tersangka telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp127,5 miliar.

Atas perbuatannya para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.



Reporter: Amelia Yesidora