DPR Batal Sahkan Revisi UU Pilkada, Peta Persaingan Calon Gubernur Bisa Berubah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membatalkan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pakar menilai langkah politik itu bisa mengubah kontestasi pemilihan gubernur tahun ini.
Pembatalan revisi UU Pilkada secara otomatis menetapkan syarat pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada 2024 menggunakan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 yang disahkan pada 20 Agustus.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai situasi ini memberi kesempatan bagi partai politik untuk bermanuver menjelang pembukaan pendaftaran calon kepada daerah yang dibuka pada 27 Agustus mendatang.
"Putusan MK membuka banyak kunci parpol sehingga bisa mengusung calon sendiri. Ada kemungkinan koalisi yang sebelumnya sudah terbentuk akan pecah sebelum tanggal 27," kata Arifki saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Jumat (23/8).
Putusan MK 60/2024 itu menurunkan ketentuan ambang batas (threshold) parpol atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dalam aturan ini, besaran threshold di sebuah daerah pemilihan disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap alias DPT. Semakin besar jumlah DPT di sebuah daerah, maka semakin rendah ambang batasnya.
Melalui putusan MK 60/2024, parpol yang sebelumnya kehilangan kesempatan mengusung calon kembali mendapatkan peluang. Sebagai contoh, PDIP dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.
Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada mengatur setiap parpol atau gabungan parpol harus memperoleh 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Politisi-politisi kondang seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan yang sebelumnya tidak bisa maju karena tidak mendapat dukungan parpol, kini dimungkinkan memiliki kesempatan maju di Pilkada Jakarta.
Dampak putusan ini tak hanya akan terjadi di Pilkada Jakarta, namun juga wilayah lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Jawa Timur.
"Meskipun tanggal 27 itu waktunya pendek, tapi saya rasa ini akan membuka banyak kemungkinan bagi partai-partai di Pilkada untuk mengusung figur sendiri," ujar Arifki.
Tergantung Calon
Namun di sisi lain, Arifki melihat perubahan itu cenderung tidak membawa dampak signifikan terhadap sikap Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang mengusung pasangan Ridwan Kamil - Suswono di pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta.
Arifki mengatakan Putusan MK 60/2024 belum cukup kuat untuk memecah KIM Plus. Ini karena Pilkada Jakarta merupakan cermin dari komposisi parpol koalisi di Pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Karena parpol di KIM targetnya bukan hanya Pilgub Jakarta, mereka berharap diperhitungkan masuk ke dalam kementerian di Pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Arifki.
Pendapat serupa juga disuarakan oleh Pakar Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati. Ia berpendapat bahwa Putusan MK 60/2024 hanya berpeluang memunculkan calon alternatif baru yang diusung oleh parpol atau koalisi parpol di luar KIM Plus.
Namun di sisi lain, Wasisto juga menyampaikan bahwa skema tersebut akan bergantung pada apakah pihak di luar KIM Plus. Apakah mereka bisa menawarkan calon yang yang kompetitif untuk melawan kandidat seperti Ridwan Kamil-Suswono.
"Jika mereka bisa, KIM Plus mungkin akan menghadapi tantangan atau menjadi tidak solid. Jika tidak, maka KIM Plus akan tetap solid," kata Wasisto lewat pesan singkat WhatsApp pada Jumat (23/8).
Adapun Partai Golkar mengaku terkejut dengan putusan MK 60/2024 yang mengatur ambang batas pencalonan dalam pemilihan kepala daerah.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan putusan tersebut bisa mengubah konstelasi di pilkada.
"Tentu dari perspektif politik akan mengubah konstelasi, tapi persoalannya apakah dalam tujuh hari tersisa ini akan (berlaku), kami akan pelajari," kata Doli di Jakarta, Selasa (20/8) dikutip dari Antara.
Doli yang juga Ketua Komisi II DPR itu juga mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu mengubah Peraturan KPU karena putusan MK mengatur perubahan yang mendasar.