PDIP Sebut Gugatan SK Perpanjangan Pengurus ke PTUN Bentuk Penyerangan
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Deddy Yevry Sitorus menilai gugatan terkait SK Kemenkumham berkaitan dengan perpanjangan kepengurusan ke PTUN Jakarta bernuansa politis. Deddy mengatakan, PDIP menilai gugatan terkait SK perpanjangan kepengurusan PDIP bukan upaya hukum murni melainkan langkah politik yang keterlaluan.
"Tidak ada kerugian apapun, baik moril maupun materil bagi penggugat. Gugatan ini lebih kelihatan sebagai upaya 'penyerangan' terhadap PDIP," kata Deddy dalam keterangannya, Selasa (10/9).
Di sisi lain, Deddy juga menyoroti tim hukum dari penggugat, yang disebutnya memiliki hubungan dengan partai politik tertentu. "Beberapa pengacara penggugatnya, menurut informasi terlihat berafiliasi dengan satu partai tertentu. Jadi menurut saya, aroma politiknya sangat terasa," kata dia.
Deddy mengatakan proses perpanjangan kepengurusan DPP PDIP itu telah dikaji dengan sangat mendalam terhadap aturan dan konstitusi partai. Selain itu juga sudah melalui proses pembahasan dan pengkajian hukum di Kemenkumham.
Deddy juga menyinggung konsekuensi yang besar jika logika para penggugat diamini. Pada 2019 lalu, PDIP mempercepat kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk dengan agenda politik nasional pada saat itu termasuk pencalonan Gibran menjadi Walikota Surakarta.
Menurut Deddy jika menggunakan logika penggugat maka SKK DPP PDIP yang dikeluarkan pascapercepatan kongres itu jadi tidak sah, termasuk mengenai pemilihan kepala daerah saat itu.
"Contoh, Gibran Rakabuming itu jadi Walikota Solo dengan menggunakan SK DPP PDIP yang dipercepat Kongresnya. Kalau keputusan DPP saat itu cacat hukum, jadi Gibran adalah produk cacat hukum. Artinya dia harus dianulir sebagai cawapres terpilih di 2024," kata dia.
Hal itu dikarenakan berkesinambungannya dengan syarat cawapres yang perlu memiliki pengalaman sebagai kepala daerah terlebih dahulu.
"Kalau keputusan PDIP paska percepatan kongres tak sah, maka Gibran pun tak sah. Demikian pula dengan seluruh produk hukum pilkada 2020 di seluruh Indonesia," kata Deddy. .
Adapun, gugatan itu dilayangkan oleh 4 orang yang mengaku sebagai kader PDIP yakni Pepen Noor, Ungut, Ahmad dan Endang Indra Saputra. Tim advokasi mereka, Victor W Nadapdap, menyebut gugatan itu dilayangkan karena bertentangan dengan AD/ART partai banteng.