Mantan Wakil Ketua KPK Berharap UU Tipikor Direvisi, Lebih Fokus Hantam Suap
Sorotan kepada Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor bermunculan. Bahkan, beberapa orang menggugat dua pasal UU ini ke Mahkamah Konstitusi.
Sorotan juga muncul dari mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi. Amien berharap UU ini bisa direvisi agar bisa lebih fokus kepada suap.
"Fokus ke depan jangan (dimulai dari) merugikan keuangan negara, tapi suap," kata Amien dalam Siniar Gultik di Youtube Katadata Indonesia yang disiarkan pada 3 Juli 2024 lalu.
Amien mengatakan indikator keuangan negara terkadang tak jelas dalam menentukan korupsi. Dampaknya, birokrat hingga eksekutif Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa dipenjara karena kesalahan prosedur atau kebijakannya dianggap merugikan keuangan negara.
Ia mencontohkan kasus yang menimpa eks Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawa yang sempat tersandung kasus investasi di Blok Busker, Manta, Gummy.
Namun Mahkamah Agung memutuskan bebas karena yang dilakukan bukan pidana tetapi business judgement rule alias keputusan bisnis. "Masa publik harus lihat hal seperti itu, sampai (Karen) kadung ditahan," kata Amien.
Amien, yang juga Komisaris PT PGN itu juga berharap pemidanaan korupsi tak menggunakan pasal yang meragukan. Hal ini menurutnya penting untuk menggali niat jahat pelaku.
Menurutnya, penegak hukum harus menelusuri niat pelaku kejahatan korupsi dan bukan saja kerugian negara. Ia khawatir korupsi tak akan hilang jika pemberantasan korupsi hanya bersandar pada kerugian negara.
"Kalau yang dipidana adalah orang yang dilihat punya niat jahat oleh publik, maka akan memberikan efek yang bagus," katanya.
UU Tipikor Digugat
Mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari menggugat UU Tipikor ke MK pada Senin (23/9). Permohonan diajukan terkhusus untuk Pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU tersebut.
Kuasa hukum ketiga pemohon, Maqdir Ismail mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berpeluang membuka ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi.
Maqdir mengatakan faktor kerugian negara sebagai tolok ukur sebuah tindak pidana korupsi tak selalu benar. Menurut para pemohon, pengambil keputusan bisa saja terkena risiko kerugian negara.
"Mereka tidak serakah, menjalankan tugas dengan baik, tetapi diberi predikat koruptor karena ada kerugian keuangan negara," kata Maqdir di Gedung MK, Jakarta, Senin (23/9).
Ia berpandangan, di dalam korupsi itu terdapat penyalahgunaan kewenangan, perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Oleh sebab itu, perlu diperjelas apa relasi antara kerugian negara dengan perbuatan-perbuatan tersebut.
"Menguntungkan diri sendiri atau orang lain ini penyebabnya apa? Bukan karena ada kerugian negara tetapi karena ada suap menyuap," kata Maqdir.