Rencana pemerintah membatalkan kenaikan cukai rokok tahun depan dinilai merupakan suatu kemunduran dalam upaya perlindungan kesehatan publik setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), khususnya pada pengamanan bahan zat adiktif.
Hal itu disampaikan koalisi yang merupakan gabungan dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).
Ketentuan dalam PP Kesehatan sebagai turunan Undang-undang (UU) No. 17/2023 atau UU Kesehatan mengatur tentang pembatasan penjualan rokok eceran per batang, pembatasan iklan rokok, dan peringatan kesehatan pada iklan rokok. Peraturan Pemerintah Kesehatan tersebut tidak hanya mengatur peredaran produk tembakau, juga rokok elektronik, meningkatkan ukuran peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, hingga melarang penjualan rokok kepada orang di bawah usia 21 tahun.
Koordinator Riset PKJS-UI, Risky Kusuma Hartono, mengatakan rencana pemerintah tersebut akan menghambat berbagai upaya pengendalian rokok yang telah direncanakan. Kebijakan ini juga memberi dampak negatif terhadap kondisi kesehatan masyarakat dan keuangan negara.
“Kenaikan tarif cukai rokok merupakan alat yang paling efektif dalam mengurangi konsumsi rokok, yang merupakan faktor risiko utama dari berbagai penyakit tidak menular, seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan," kata Risky dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (27/9).
Dia mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah secara tegas menyatakan bahwa menaikkan harga melalui kebijakan cukai adalah salah satu strategi pengendalian konsumsi rokok yang paling efektif. Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang memiliki prevalensi perokok tertinggi di dunia.
"Tanpa tindakan tegas, angka ini akan terus meningkat,” ujar Risky.
Perlindungan Anak, Kemiskinan, hingga Penerimaan Negara
Berdasarkan studi-studi PKJS-UI yang telah dilakukan, faktor harga sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk merokok. Studi PKJS-UI (2020) menunjukkan semakin mahal harga rokok maka semakin kecil peluang anak merokok. Harga rokok murah juga menjadi faktor yang mendorong anak kambuh untuk merokok kembali/smoking relapse setelah pernah berhenti (PKJS-UI, 2023).
Di samping keterjangkauan oleh anak-anak, masyarakat prasejahtera juga masih mudah membeli rokok sehingga membuat mereka sulit berhenti dari adiksi. Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan setiap 1% kenaikan belanja rokok, meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen poin pada rumah tangga. Artinya, konsumsi rokok memiliki pengaruh besar terhadap garis kemiskinan.
Selain menjadi alat pengendalian konsumsi rokok, kenaikan tarif cukai ini juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat dialokasikan untuk program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Dana yang dihasilkan dari cukai rokok dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pelayanan kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit yang diakibatkan oleh rokok.
Sejalan dengan PKJS-UI, Hasbullah Thabrany selaku Ketua Komnas PT mengungkapkan praktik baik dari negara-negara yang telah sukses menekan prevalensi perokok melalui instrumen cukai seharusnya bisa menjadi contoh.
"Mereka mengalokasikan pendapatan dari cukai tersebut untuk program-program pencegahan dan pengobatan penyakit terkait rokok,”ujarnya.
Beban Biaya Kesehatan
Project Lead for Tobacco Control CISDI, Beladenta Amalia, menambahkan, salah satu sasaran utama kebijakan cukai rokok ini adalah mengurangi akses generasi muda dan masyarakat prasejahtera terhadap rokok. Banyak studi sudah menunjukkan efektivitas harga rokok yang lebih tinggi untuk menurunkan keterjangkauan rokok, khususnya pada generasi muda. Diharapkan generasi muda akan berpikir berulang kali sebelum memulai kebiasaan merokok.
"Tanpa kenaikan tarif cukai yang signifikan, kelompok rentan, termasuk generasi muda, akan semakin mudah mengakses produk ini dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat yang ada,” jelasnya.
Riset CISDI (2021) menjelaskan konsumsi rokok memberi beban biaya kesehatan sebesar Rp17,9-27,7 triliun selama setahun pada 2019 akibat penyakit yang timbul dan berasosiasi dengan rokok. Angka Rp 17,9-27,7 triliun setara dengan 61,75% hingga 91,8% total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019. Artinya, pemerintah masih perlu membuat rokok tidak terjangkau untuk menekan beban kesehatan yang masih begitu besar.
Ketiga organisasi ini mendesak Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, untuk menekan prevalensi perokok dan memutus rantai beban biaya kesehatan akibat rokok yang jelas merugikan masyarakat dan perekonomian nasional. Pemerintah didesak menaikkan tarif CHT tahun 2025 secara bertahap, dimulai dengan 25% di awal tahun, kemudian disesuaikan dengan inflasi ditambah 10% pada tahun berikutnya.
Untuk mengurangi aksesibilitas anak-anak terhadap murahnya harga rokok saat ini, direkomendasikan untuk dilakukan peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) minimum dan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 5 hingga 3 golongan sebelum 2029. Selain itu, pemerintah diminta mendekatkan tarif antar golongan untuk mempersempit peluang perokok memilih merek yang lebih murah.
Kenaikan cukai ini mencakup semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik dan tembakau iris, dengan kenaikan minimal 25% dan khusus untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) di atas 5%.