Realisasi B40 Butuh Rp 47 Triliun, Industri Kelapa Sawit Fokus Kejar Produksi

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/agr
Pengunjung melihat produk kelapa sawit di stan pameran industri kelapa sawit di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (7/11/2024).
8/11/2024, 08.22 WIB

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menilai butuh dana Rp 47 triliun untuk merealisasikan bahan bakar ramah lingkungan jenis B40 pada 2025. Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman mengatakan kebutuhan dana tersebut berdasarkan asumsi harga metil ester asam lemak atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau biodiesel lebih tinggi daripada harga solar.

Menurut Eddy, penerapan B40 membutuhkan sekitar 16 juta kiloliter biodiesel. Jumlah ini meningkat 2,6 juta kiloliter dari kebutuhan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) untuk implementasi B35 yang membutuhkan biodiesel 13,4 juta kiloliter. Berdasarkan hal itu biaya yang mesti disiapkan oleh BPDPKS menjadi lebih besar apabila harga biodiesel lebih mahal dibandingkan harga solar.

"Kecuali nanti karena geopolitik dan sebagainya, mungkin harga solar bisa meningkat itu kan kita pernah mengalami. Pada 2023 justru harga solar lebih tinggi dari harga Fame,” ujar Eddy dalam forum Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 yang berlangsung di Nusa Dua Bali, Kamis (8/11). 

Eddy mengatakan, pada akhir 2024 BPDPKS memiliki saldo sebesar Rp 32 triliun. Sementara pendapatan dari pungutan ekspor CPO pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp 21,5 triliun. Apabila diakumulasikan saldo yang dimiliki BPDPKS mencapai Rp 53,5 triliun

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, Indonesia telah siap menerapkan wajib bahan bakar minyak (BBM) biodiesel B40 pada 2025. B40 merupakan BBM dengan campuran bahan bakar komposisi 40% minyak kelapa sawit dan 60% solar.

Program peningkatan biodiesel B35 menjadi B40 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjalankan transisi energi dari ketergantungan pada bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Sementara penggunaan bahan bakar B50 ditargetkan dimulai pada 2028. 

Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Bali Convention Center, Kamis (7/11). (Istimewa)

Industri Sawit Dukung Kebijakan Biodiesel 

Sementara itu pelaku industri kelapa sawit menyatakan komitmen menyatakan dukungan bagi pemerintah menerapkan kebijakan penggunaan biodiesel. Seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit sepakat mendorong produktivitas kebun swasta dan rakyat untuk meningkatkan produksi crude palm oil (CPO) agar program jangka panjang pemerintah terlaksana. 

Berdasarkan data Riset Perkebunan Nusantara (RPN), dari total 6,94 juta hektare (ha) milik petani, 1,36 juta ha diantaranya ditanami oleh pohon-pohon yang berusia di atas 25 tahun. Adapun tanaman muda dengan usia di bawah 3 tahun mencapai 1,64 juta ha dan tanaman dewasa antara 4 -25 tahun seluas 3,94 juta ha. Hal itu membuat produksi CPO nasional mengalami stagnansi dan cenderung menurun di masa depan.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan salah satu hal penting yang perlu segera direalisasikan adalah peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Dengan begitu, stagnansi produksi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir bisa diselesaikan.

Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat menerapkan praktik budidaya yang baik dan berkelanjutan. Peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit, lanjutnya, dapat mendukung program biodiesel pemerintah yang ditargetkan menjadi B50 pada 2026, tanpa mengganggu ekspor CPO.

Ketua Perhimpunan Ilmu Pemuliaan dan Perbenihan Sawit Indonesia Edy Suprianto menambahkan peningkatan produktivitas akan menjadi tantangan utama industri kelapa sawit dalam beberapa tahun ke depan. Pasalnya, salah satu upaya paling efektif meningkatkan produktivitas ialah melalui program replanting.

“Permintaan CPO akan terus meningkat sedangkan waktu yang kita butuhkan untuk mendorong produktivitas melalui replanting ialah 5 tahun,” ungkapnya.

Edy menambahkan selain selain replanting, peningkatan produktivitas bisa dengan menerapkan praktik agronomi yang lebih baik seperti pengelolaan air, pupuk, serta pengendalian hama dan penyakit.

Menurut Edy, permintaan minyak sawit mentah domestik diprediksi terus naik hingga 2030 karena ekspansi biodiesel dan konsumsi industri pangan dan oleokimia. Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk terus mengejar pertumbuhan produksi. 

Ia menjelaskan sejumlah program yang telah dijalankan adalah pertanian presisi, penggunaan drone, sensor tanah dan varietas tahan penyakit seperti Ganoderma serta aplikasi Biofungisida Trichoderma efektif dalam mengatasi penyakit jamur. Pengusaha juga terus berupaya meningkatkan hasil panen, dan mendukung kesehatan tanah. 

“Dukungan pada petani kecil, yang menyumbang 40% produksi, sangat penting dalam industri sawit,” ujar Edy. 

Menurut Edy, pelatihan dan penggunaan teknologi akan membantu petani sawit mengakses informasi praktik terbaik, cuaca, dan harga pasar secara real-time. Program penyediaan bibit berkualitas melalui Bank Benih Perkebunan juga membantu mempercepat peningkatan produktivitas. Investasi di riset dan inovasi sawit akan mempertahankan daya saing Indonesia di pasar global

Sementara itu, Professor University of Nebraska-Lincoln (USA) Patricio Grassini menambahkan Indonesia berpotensi meningkatkan yield kelapa sawit seperti yang terjadi pada komoditas padi dan jagung.

“Kita perlu lebih intensif meningkatkan produktivitas sehingga tantangan seperti keterbatasan lahan bisa teratasi, beban tenaga kerja terselesaikan dan kita semua terhindar dari kampanye isu-isu lingkungan,” ujar Patricio. 

Dalam risetnya, Patricio memproyeksikan dengan replanting dan intensifikasi maka produktivitas CPO bisa naik dari 3,4 ton per ha pada saat ini menjadi 8 ton per ha. Dengan begitu, produksi CPO nasional dapat terkerek hingga 108 juta ton per tahun dengan potensi pemasukan USD 97 miliar per tahun.