Terapkan OSS, Pemerintah Keluarkan 15,3 Juta Izin Usaha dalam Enam Tahun

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
20/12/2024, 21.33 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM) terus berupaya mempermudah proses perizinan. Salah satunya dengan cara peningkatan layanan perizinan melalui sistem Online Single Submission (OSS) berbasis risiko.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim dan Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Riyatno mengungkapkan, penerapan OSS memberikan dampak signifikan peningkatan penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Kata Riyatno, sejak sistem berbasis risko OSS diterapkan pada 2018 hingga 18 Desember 2024, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM sudah mengeluarkan 15,3 juta Nomor Induk Berusaha.

“Proses perizinan perusahaan saat ini diubah dari yang berbasis izin menjadi berbasis risiko. Kalau dulu semua perizinan baik untuk usaha mikro kecil menengah sampai besar semua membutuhkan izin, kalau sekarang tidak. Sekarang kalau yang risikonya rendah itu cukup dengan NIB saja, kalau menengah rendah berarti ini NIB dan sertifikat standar, kemudian yang menengah tinggi NIB dan Sertifikat Standar, kemudian kalau yang tinggi baru yang NIB dan izin,” kata Riyatno dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (20/12/2024).

Riyatno menambahkan, usaha mikro kecil yang dengan risiko rendah hanya perlu waktu 30 menit untuk mengurus Nomor Induk Berusaha. Ini artinya cita-cita pemerintah untuk mempermudah proses perizinan sudah bisa tercapai melalui sistem OSS.

“Jadi, ketika membangun sistem OSS mengurus izin itu bagaikan kalau kita membeli barang-barang lewat online atau beli tiket pesawat atau beli tiket kereta api. Jadi inginnya supaya mudah dan karena ini dengan sistem maka ini berlaku 24 jam jadi kalau dulu perizinan dibatasi dari jam 8 sampai jam 4 sore, kalau sekarang 24 jam silahkan saja bisa,” lanjut Riyatno.

Dia merinci, saat ini setiap hari ada sekitar 8.000-10.000 perizinan risiko rendah yang diproses oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM. Sistem OSS ini juga tidak mengharuskan pihak yang mengajukan perizinan untuk bertatap muka. Kata Riyatno, proses tatap muka hanya dilakukan jika ada masalah dalam dokumen yang diajukan.

Kepala Pusat Kajian Industri Perdagangan dan Investasi INDEF Andriy Satrio Nugroho menambahkan, penerapan Online Single Submission (OSS) merupakan hal yang positif dalam mempermudah perizinan.

Namun, kata dia, masih ada OSS yang belum terintegrasi dengan Kementerian/Lembaga yang berpotensi memunculkan masalah dalam perizinan.

INDEF merekomendasikan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, untuk menyesuaikan dan integrasi sistem lintas Kementerian/Lembaga dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang seragam. Serta mendorong adanya penyelarasan capaian kinerja bersama bagi penanggung jawab Kementerian/Lembaga di OSS,” kata Andriy.

Ketua Komite Tetap Strategi dan Promosi Investasi Kadin Indonesia Shaanty Shamdasani mengungkapkan, kemudahan perizinan berusaha bukan hanya satu-satunya faktor untuk meningkatkan investasi.

Faktor lain yang krusial adalah soal aturan yang dibuat oleh pemerintah. Kata dia, banyak investor yang mengeluhkan regulasi di Indonesia yang cepat berubah-ubah.

Contohnya adalah aturan tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Ini sudah 10 tahun berjalan tapi di dalam negeri industri yang produksi barang lokal tidak banyak yang muncul. Bagaimana kita bisa memenuhi TKDN kalau industri lokal tidak berkembang, kalau perlu spare part lokal terpaksa harus impor,” jelas Shaanty.

Shaanty menambahkan, untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen maka harus banyak regulasi yang diperbaiki. Selain perubahan regulasi, kata dia, hal lain yang sering jadi keluhan dari investor adalah pelaksanaan uji materi yang kerap tidak transparan.

“Kalau bisa sistem judicial review ketika ada UU yang digugat, tidak makan waktu lama dan juga biaya yang besar. Investor masih melihat sistem judicial review di Indonesia tidak transparan sehingga membuat sejumlah investor menutup pabrik mereka dan meninggalkan Indonesia,” jelas Shaanty.