Prajurit Tak Boleh Berbisnis, Guru Besar Unhan Ajukan Uji Materi UU TNI ke MK

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) memimpin sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) tahun 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025).
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) memimpin sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) tahun 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025).
Penulis: Ade Rosman
Editor: Yuliawati
18/3/2025, 12.56 WIB

Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) Kolonel Sus Prof Mhd Halkis MH mengajukan judicial review atau uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Halkis mengajukan uji materi tersebut karena menilai hak prajurit sebagai warga negara terkekang. Ia mengajukan uji materi melalui kuasa hukumnya, Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar. Gugatan ini masuk sebagai permohonan yang teregistrasi dengan nomor 38/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

"Uji materi UU TNI diajukan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara," kata Halkis dalam keterangannya, Sabtu (15/3), dilansir dari Antara.

Halkis yang merupakan perwira aktif menilai definisi tentara profesional dalam Pasal 2 huruf d UU TNI tidak tepat. Menurut pasal ini, tentara profesional didefinisikan sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.

Menurutnya definisi itu dianggap tak tepat secara logika karena menggunakan pendekatan negatif. Ia menilai definisi itu tidak menjelaskan tentara profesional secara positif, melainkan hanya menyebutkan apa yang tidak boleh dilakukan sehingga menurutnya menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer.

"Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik," kata dia.

Kemudian, dalam Pasal 39 ayat (3) UU TNI melarang prajurit untuk berbisnis, aturan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Ia mencontohkan Amerika Serikat dan Jerman, yang mana prajurit boleh memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Halkis memoertanyakan pelarangan di Indonesia sedangkan jaminan kesejahteraannya tak memadai.

"Prajurit juga mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit selama bertugas dan setelah purna tugas," katanya.

Reporter: Ade Rosman