Kementerian Pertanian menganggarkan Rp 47 miliar untuk peremajaan perkebunan karet seluas 6 ribu hektare pada tahun ini. Target itu lebih rendah dibandingkan dengan target peremajaan karet tahunan Indonesia yang mencapai 50 ribu hektare sebagai salah satu kesepakatan International Triparte Rubber Council (ITRC).
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono keputusan pendanaan masih menunggu kesepakatan lanjut pembatasan ekspor karet. "Kami baru bisa meremajakan sekitar 6 ribu hektare, butuh sisa tambahan dari sumber pendanaan lain," kata Kasdi di Jakarta, Senin (25/2).
Dia menjelaskan, detail keputusan pembatasan ekspor karet bakal dilakukan pada 4 Maret 2019 di Bangkok, Thailand. Setelah itu, pemerintah baru bisa melakukan kesepakatan lain seperti peningkatan konsumsi domestik serta peremajaan karet nasional.
(Baca: Negara Produsen Karet Sepakati Pembatasan Ekspor 300 Ribu Ton)
Di sisi lain, langkah peremajaan karet diharapkan dapat memicu peningkatan produksi karet. Hasil produksi tersebut bisa dimanfaatkan untuk memebuhi kebutuhan dalam negeri mauoun ekspor. "Peremajaan karet empat tahun lalu sudah mulai menunjukkan hasilnya sekarang," ujarnya.
Sepanjang 2018, realisasi produksi karet mencapai 3,76 juta ton, naik tipis dari yang ditarget yang sebesar 3,68 juta ton. Dengan capaian yang lebih tinggi itu kemudian membuat Kementerian Pertanian meningkatkan target produksi tahun ini sebesar 3,81 juta ton.
Target itu diharapkan tercapai seiring dengan hasil peremajaan karet yang lalu, penggunaan benih yang berkualitas serta kondisi cuaca yang lebih untuk memicu peningkatan produksi karet. "Kami sudah menghitung analisis iklim el nino, mudah-mudahan tidak meleset," kata Kasdi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan luas perkebunan karet di Indonesia sebesar 3,6 juta hektare. Namun, mayoritas perkebunan karet masih dimiliki rakyat, sedangkan kebun milik perusahaan swasta dan BUMN masih menyumbang porsi yang sangat kecil.
Darmin mengungkapkan dari skema peremajaan, 60% dialokasikan untuk lahan untuk tanaman karet dan 40% sisanya untuk tanaman lain seperti kopi, cokelat, atau hortikultura.
Alasannya, benih berkualitas bisa menghasilkan produksi lebih banyak tiga kali lipat daripada hasil karet yang belum mengalami peremajaan. "Kalau peremajaan cukup besar tiap tahun, hasil karet harus dikontrol setiap tahun," ujar Darmin.
(Baca: Tahan Harga, Pengusaha Usulkan Pembatasan Ekspor Karet Selama 3 Bulan)
Sebelumnya, tiga negara produsen karet terbesar dunia yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand sepakat membatasi ekspor 200 ribu ton hingga 300 ribu ton karet melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS). Kebijakan itu diputuskan berdasarkan Pertemuan Menteri ITRC sebagai cara untuk mengerek harga karet di pasar dunia.
Pertemuan yang digelar di Bangkok, Thailand, pada 22 Februari 2019 dipimpin oleh Menteri Pertanian dan Kerja Sama Thailand Grisada Boonrach. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution hadir mewakili Indonesia serta Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok ikut serta sebagai delegasi Malaysia.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan Kasan sebagai anggota Board of Directors ITRC juga hadir dalam pertemuan. "Perjuangan usulan Indonesia untuk implementasi AETS disepakti ketiga anggota ITRC," kata Kasan, akhir pekan lalu.
Dalam pernyataannya, ketiga menteri ITRC berharap harga karet tetap meningkat sampai level yang menguntungkan para petani. "Jika harga karet melonjak, para petani pasti bersemangat untuk tetap menanam dan memanen komoditas karet," bunyi laporan ITRC.
Selain pembatasan ekspor, ketiga negara tetap melanjutkan memenuhi permintaan karet domestik. Ketiga negara telah memiliki strategi masing-masing untuk menggenjot penyerapan di dalam negeri.