International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebut pelarangan kelapa sawit justru berpotensi menyebabkan deforestasi lebih besar akibat tanaman penghasil minyak nabati lain. Sebab, minyak kelapa sawit merupakan produk minyak nabati paling efisien dibandingkan bunga matahari, kedelai, dan rapeseed.
Peneliti Independen IUCN Eric Mejiaard menyatakan kelapa sawit produk minyak nabati paling produktif, yang mana per 0,26 hektare lahan sawit mampu menghasilkan 1 ton minyak sawit. Ini berbanding terbalik dengan bunga matahari yang memerlukan hingga 1,43 hektare lahan untuk menghasikan 1 ton minyak nabati. Demikian halnya dengan rapeseed yang membutuhkan 1,25 hektare laham atau kacang kedelai yang memerlukan hingga 2 hektare lahan untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati.
"Jenis tanaman lain memerlukan lahan sampai dengan hingga 9 kali lipat lebih luas untuk menghasilkan satu ton minyak nabati, jauh lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit," kata Eric di Jakarta, Senin (4/2).
(Baca: Gapki: Volume Ekspor Sawit 32,02 Juta Ton Sepanjang 2018)
Eric menyatakan permintaan pasar global terhadap minyak nabati bakal terus meningkat. Riset IUCN mengungkapkan permintaan minyak nabati dunia pada 2050 akan mencapai 310 juta ton, padahal produksi pada 2018 baru mencapai 165 juta ton.
Dengan permintaan yang besar, minyak kelapa sawit juga disebutnya berkontribusi sebesar 35% terhadap total kebutuhan minyak nabati dunia dengan negara pengkonsumsi terbesar yakni India, Tiongkok, dan Indonesia. Sementara untul proporsi penggunaannya, sebanyak 75% minyak sawit digunakan untuk industri makanan dan 25% untuk industri kosmetik, produk pembersih, dan biodiesel.
Karenanya, produksi kelapa sawit bakal bermanfaat terhadap lingkungan kalau pengembangannya secara tepat. Penanaman di lahan tropis bakal menyebabkan kerusakan keanekaragaman hayati, tetapi bakal memberikan peningkatan terhadap keanekaragaman hayati kalau penanaman di lahan kritis.
Menurut Eric, sebanyak 30% produksi sawit Indonesia memang merusak hutan karena penanaman terjadi di wilayah tropis, tetapi 70% berkembang di lahan kritis. Dia menegaskan, sawit memang menyebabkan deforestasi, tetapi bukan sebagai penyebab utama.
Berdasarkan penelitian IUCN, deforestasi di Indonesia yang disebabkan oleh kelapa sawit hanya sebesar 16%, sisanya 84% diakibatkan oleh faktor lain. Sementara di dunia, kerusakan kawasan hutan akibat tanaman sawit hanya menyumbang kurang dari 1%.
(Baca: Produsen Sawit Ancam Laporkan Uni-Eropa ke WTO soal Aturan Anti-Sawit )
Sehingga, persepsi dunia global terhadap minyak kelapa sawit belum berdasarkan data dan fakta. "Pro dan kontra sangat berkembang dalam masyarakat dunia, kami mencoba diskusi secara netral dan objektif untuk menjadi yang transparan," ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tantangan industri kelapa sawit Indonesia dalam perdagangan dunia cukup besar. Karenanya, pemerintah menerima penelitian ilmiah berbasis fakta sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Darmin mengaku pemerintah berkomitmen melindungi keanekaragaman hayati di hutan hujan tropis karena ada 193 spesies langka. Terdapat 22,1 juta hektare hutan konservasi dan 29,7 juta hektare hutan lindung untuk habitat flora dan fauna yang butuh tempat bernaung.
Selain itu, pemerintah mengalokasikan ruang lain seperti koridor satwa, Kawasan Ekonomi Esensial, serta High Conservation Value. "Fungsi dari berbagai jenis hutan inilah yang mesti dioptimalkan," kata Darmin.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono juga mendukung riset IUCN karena memiliki nilai positif untuk kelapa sawit. Menurut Joko, alasan deforestasi bisa mementahkan tuduhan pasar global yang selalu mengaitkan isu lingkungan untuk kelapa sawit.