Pemerintah menyatakan enggan mengubah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang mengatur Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Padahal, harga gabah dan beras di tingkat petani sudah berada di atas peraturan Rp 3.700 per kilogram untuk gabah dan Rp 7.300 per kilogram untuk beras.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto menyatakan pemerintah harus berhati-hati untuk menentukan perubahan kenaikan HPP. " Kanaikan  HPP akan mengakibatkan inflasi karena harga beras di tingkat konsumen akan menjadi lebih mahal," kata Gatot di Jakarta, Senin (1/10).

Oleh karena itu, Kementerian Pertanian lebih memilih efisiensi budidaya dan pascapanen dalam produksi padi untuk menjadi gabah dan beras. Salah satu caranya,  dengan menitikberatkan penggunaan varietas unggul dan mekanisasi pascapanen dengan penekanan pertanian modern.

(Baca : BPS: Harga Semua Jenis Beras Naik pada September 2018)

Gatot menjelaskan jika tidak ada modernisasi pertanian, harga gabah dan beras akan terus berada di atas HPP. Termasuk  jika pemerintah sudah memutuskan untuk menaikan HPP. "Harga gabah akan selalu di atas HPP, kecuali jika musim hujan tinggi dan kualitas tanamannya menjadi buruk seperti tahun 2017," ujarnya.

Menurutnya, penyebab meningkatnya harga gabah pada musim kering karena kualitas panen lebih bagus sehingga para petani memilih untuk menjual produksi dengan nilai lebih tinggi. Sehingga, hasil panen petani dapat diproses menjadi beras jenis premium yang harganya lebih tinggi.

Sementara jika pemerintah menaikkan HPP dan kualitas berasnya anjlok,  maka dikhawatirkan baik untuk beras yang  harga yang tinggi malah akan membuat panen petani dengan kualitas lebih rendah tidak akan terbeli. "HPP itu menjaga keseimbangan harga batas bawah, jadi biarkan saja jika harga tinggi," katanya lagi.

Menurut catatan Kementerian Pertanian, harga gabah pada tahun ini  selalu berada di atas HPP.  Pada Mei harga gabah sempat mencapai level terendah seiring panen raya.  Meski begitu, levelnya di atas Rp 4.200 per kilogram di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi.

Perum Bulog sebagai pihak yang melakukan penyerapan dengan HPP ditambah fleksibilitas 10% pun semakin kesulitan pada tahun ini. Pada kuartal III tahun ini, penyerapan Bulog hanya 438.438 ton, jauh lebih sedikit dibandingkan periode yang sama tahun lalu dengan volume 676.542 ton. Sedangka  pada kuartal ketiga tahun 2016 penyerapannya mencapai 689.813 ton.

(Baca juga : Membaik Dibandingkan Tahun Lalu, Daya Beli Petani Masih Rendah)

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih berpendapat  HPP gabah seharusnya berada pada level Rp 5.000 per kilogram. Dia juga memerintah agar pemerintah menetapkan HPP yang baru. “HPP yang ada sekarang sudah tak relevan,” ujar Henry.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) September 2018, rata-rata harga gabah di tingkat petani untuk kualitas gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 4.889 per kilogram atau naik 2,40% dibandingkan bulan sebelumnya. Pada tingkat penggilingan, harga GKP mencapai Rp 4.990 per kilogram atau naik 2,46%.

Sementara, rata-rata harga gabah kering giling (GKG) di petani Rp 5.399 per kilogram atau naik 1,71%. Pada tingkat penggilingan, harga GKG Rp 5.501 per kilogram, naik 1,86%. Kemudian, harga gabah kualitas rendah di tingkat petani Rp 4.652 per kilogram atau naik 6,61% sementara di tingkat penggilingan Rp 4.753 per kilogram, naik 6,67%.

Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal perubahan HPP bakal meningkatkan minat petani dalam bertanam. Sebab selama ini, petani kerap menghadapi harga pembelian dari pemerintah yang lebih rendah dari harga pasar.  Hal ini juga menyebabkan penyerapan gabah atau beras oleh Bulog rendah.

CORE mengusulkan agar pemerintah bisa memperbaharui HPP secara berkala setiap tahunnya dengan memperhitungkan  faktor biaya pokok produksi, perkembangan inflasi, serta margin petani. Selain menjadi acuan Bulog dalam pengadaan stok, HPP merupakan harga batas bawah bagi pemerintah melakukan intervensi dengan penyerapan produksi gabah petani.

Faisal menyebut perubahan HPP secara berkala telah ditetapkan Tiongkok. Menurutnya, meski  tidak mengontrol penuh sektor pertanian, namun pemerintah Tiongkok tetap melakukan intervensi untuk melindungi petani.

Jika kebijakan tersebut juga diterapkan di Indonesia, maka menurutnya akan memudahkan Bulog dalam menyerap beras baik untuk tujuan Public Service Obligation (PSO), komersial, ataupun untuk membangun stok pangan yang lebih aman.

"Kebijakan ini tentu membutuhkan cadangan anggaran yang relatif besar tetapi mampu memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus menjadi insentif untuk meningkatkan produktivitas," katanya.

Reporter: Michael Reily