Impor Beras Ditambah Lagi, Petani Pertanyakan Data Produksi Kementan

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Dua orang buruh tani menanam padi di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (3/3). Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai tukar petani nasional pada Februari 2017 mengalami penurunan dibanding Januari 2017, yaitu 100,91 menjadi 100,33. Penurunan nilai tukar petani tersebut disebabkan Indeks Harga yang Diterima Petani turun sebesar 0,24 persen sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani mengalami kenaikan sebesar 0,34 persen.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
17/5/2018, 11.55 WIB

Kebijakan pemerintah terkait penambahan kuota impor beras  500 ribu ton menuai perdebatan di lingkup petani dan pedagang. Petani mempertanyakan data produksi beras dan padi, padahal sebelumnya Kementerian Pertanian menyebut stok beras surplus. Sedangkan pedagang menganggap  impor  masih dalam batas wajar asal tidak dilakukan saat musim panen.

Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menuturkan perhitungan impor beras semestinya mengacu pada data produksi nasional berbanding kebutuhan konsumsi . Namun dia menduga ada ketidakakuratan data produksi sehinga pada akhirnya memicu kebijakan penambahan impor beras.

“Tidak ada kepastian tentang data produksi kita, tapi Menteri Pertanian bilang surplus,” katanya kepada Katadata, Rabu (16/5).

Sebelumnya Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menuturkan, pasokan dan produksi beras telah berada di tingkat aman. 

Menurut perhitungan Kementan, dengan produktivitas padi sebesar 3 ton sampai 3,5 ton per hektare, maka produksi beras diprediksi bisa mencapai 3 juta sampai 3,5 juta ton.  Konsumsi nasional saat ini terhitung sebesar 2,5 juta ton per bulan.

Selain itu, pasokan beras juga diperkirakan aman karena stok beras di  gudang Bulog pada 16 Mei 2018 telah mencapai 1,28 juta ton dan masih ada lebih dari 40 ribu ton yang tersimpan di Pasar Induk Beras Cipinang. Karenanya, Kementan yakin dengan perhitungan stok tersebut bisa memenuhi kebutuhan beras masyarakat.

Namun perbedaan pernyataan  angka produksi dengan kebijakan impor tambahan menyebabkan serikat petani  cukup kebingungan, hingga  mengusulkan supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) megevaluasi kinerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Pasalnya, banyak juga program Kementerian Pertanian yang dinilai tidak efektif dalam menjaga pasokan produksi.

(Baca : Kementan Sesalkan Keputusan Impor Beras Tambahan)

Contohnya, pada beberapa  kebijakan Kementan terkait  bantuan bibit dan benih, perluasan lahan dengan cetak sawah, dan pemaksaan tanah untuk terus ditanam padi. Sistem pertanian yang bersifat memaksa untuk mengejar swasembada pangan bukan jawaban peningkatan produksi.

Pasalnya jika program berhasil dan terjadi surplus beras maka harga tidak akan terus melonjak. “Faktanya di lapangan produksi tidak banyak, panen juga mulai berkurang, sistem Kementerian Pertanian banyak yang gagal panen,” ujarnya.

Masalah pasokan beras yang diperkirakan semakin berkurang pasca-Lebaran juga diungkap oleh Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang, Zulkifly Rasyid.

Dia menyatakan pasokan beras untuk Ramadan dan Lebaran yang ada saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Belum ada jaminan produksi cukup  ke depan karena panen di daerah berangsur-angsur habis,” katanya.

(Baca : Kemendag Akui Ada Tambahan Impor Beras 500 Ribu Ton)

Pasar Induk Beras Cipinang butuh pasokan beras minimal 3 ribu ton per hari. Jika pasokan tidak memadai, harga akan mulai merangkak naik. Sehingga, Zulkifly menilai impor beras sebenarnya masih dibutuhkan karena permintaan masyarakat masih tinggi.

"Namun untuk impor beras sebaiknya dilakukan setelah  bulan Juli atau sesudah Lebaran karena belum ada jaminan produksi, pasokan pun mulai berangsur habis" ujarnya.

Dia juga meminta supaya Direktur Utama Bulog yang baru, Budi Waseso bisa bersikap tegas. Terutama karena beras merupakan kebutuhan pokok yang paling penting untuk masyarakat.