Pemerintah Dikritik Karena Terlalu Banyak Subsidi Pupuk Kimia

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Seorang petani menyemprotkan racun pembasmi hama di persawahan Desa Tana Harapan, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (16/3). Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menargetkan pencetakan sawah baru pada 2017 seluas 2.500 hekta
Penulis: Muhammad Firman
Editor: Pingit Aria
22/5/2017, 14.34 WIB

Kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi untuk menggunaan pupuk kimia menuai kritik. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai penggunaan pupuk kimia merupakan solusi instan yang dapat berdampak buruk bagi masa depan.

“Lahan jadi tergantung pupuk kimia. Seperti kecanduan narkotika, jadi kalau tidak pakai pupuk, tanaman tidak akan tumbuh.” kata Dewan Komisioner Indef Bustanul Arifin dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (22/5).

Tahun lalu, Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung Kedelai (Upsus Pajale) menghabiskan total anggaran Rp 103 triliun. Di antaranya, sebanyak Rp 31,2 triliun digunakan untuk subsidi pupuk.

(Baca juga: Kepemilikan Lahan Terbatas, Pemerintah Cemaskan Urbanisasi Petani)

Sayangnya, sebagian besar pupuk yang digunakan kebanyakan adalah pupuk kimia. Pupuk untuk tanaman padi misalnya, 68 persen berupa pupuk kimia sedangkan 23,5 persen pupuk kimia dan organik.

“Penggunaan pupuk kimia pada akhirnya akan mengorbankan kapasitas produksi tanah itu sendiri,” katanya.

Bustanul tak memungkiri ada peningkatan produksi padi tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi padi pada 2016 mencapai 79,1 juta ton gabah atau setara 45,2 juta ton beras. Angka itu meningkat 4,97 persen dari tahun sebelumnya sebesar 75,40 juta ton gabah atau 43 juta ton beras.


Nilai Ekspor Komoditas Pertanian 2010-2016

Dengan rerata konsumsi padi 114 kilogram per kapita, maka total konsumsi beras sebesar 31 juta ton. Secara hitung-hitungan matematis, produksi beras tahun lalu seharusnya surplus 14 juta ton atau naik 2,2 juta ton dari tahun 2015.

Kenyataannya, pada tahun 2016 impor beras mencapai 1,2 juta ton atau setara US$ 531 juta setara Rp 6,6 triliun. Jumlah ini melonjak dari 861 juta ton atau US$ 351 juta pada tahun 2015. “Kalau ada bilang produksi naik, tidak sebesar itu kenaikannya,” katanya.

(Baca juga: Pemerintah Bakal Ubah Penyaluran Subsidi Bibit Petani)

Selain itu, yang perlu diperhatikan, kata Bustanul, adalah data the National University of Singapore (NUS) yang menyebut total factor productivity (TFP) pertanian Indonesia hanya 1 persen. “Padahal rerata TFP ASEAN mencapai 1,4 persen,” katanya.  

Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Lampung ini menyatakan, saat ini daya tampung air pada tanah sudah semakin menyusut. Sebab, unsur hara sudah banyak terserap.  “Alhasil tanah mengeras dan pecah-pecah sehingga kapasitas produksi menurun” katanya.

Reporter: Muhammad Firman