Pemberlakuan tarif ojek online (ojol) sejak 1 Mei 2019 mendorong perusahaan transportasi online gencar menjalankan strategi promosi untuk menarik konsumen. Masalahnya, strategi ini dinilai dapat menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat dan berpotensi munculnya praktik monopoli.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengindikasikan adanya praktik predatory pricing setelah pemberlakukan tarif ojek online ini. Jika dibiarkan, praktik tersebut diprediksi akan membahayakan industri transportasi online secara berkelanjutan.
Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah (dibawah harga pasar) dalam jangka waktu tertentu. Rendahnya harga akan membuat banyak konsumen beralih dan bisa mematikan perusahaan lainnya.
(Baca: Mitra Pengemudi Dukung Diskon Ojek Online Ditentukan Mekanisme Pasar)
Sebenarnya, penerapan predatory pricing tidak menguntungkan perusahaan untuk jangka pendek, sehingga perusahaan memiliki ekspektasi untuk mendapatkan kekuatan pasar di masa depan. Strategi ini dapat digunakan dengan beberapa metode, seperti mengalihkan modal untuk mensubsidi harga atau subsidi silang dari produk lain.
Pada kasus ojek online di Indonesia, Haryadin, ekonom Universitas Indonesia (UI) menjelaskan promosi digunakan dengan membakar modal untuk penguasaan pasar. Modal ini digunakan untuk menerapkan promosi besar-besaran (predatory promotion) dan diskon harga yang sangat tinggi (deep discounting) untuk menarik perhatian masyarakat.
Penggunaan promosi dan diskon akan menciptakan harga yang tidak wajar. Harga yang tidak wajar ini dapat dilihat dari perbedaan yang tertera di aplikasi, yaitu tarif menurut jarak tempuh dengan yang dibayarkan konsumen melalui diskon. Selain itu juga diduga harganya berada dibawah biaya produksi.
Dalam jangka panjang, praktik seperti ini dapat mematikan pelaku usaha lain, sehingga persaingan pun bisa hilang. Hal ini berpotensi terjadi praktik monopoli pelaku usaha predator di industri transportasi online yang akan memperlemah posisi tawar para mitranya dan konsumen.
Haryandi memberikan contoh yang terjadi di Singapura. Setelah mengakuisisi Uber, Grab menaikkan tarif 10-15 persen sepanjang Maret-Juli 2018. Tarif ini diprediksi akan kembali dinaikkan pada 2021 diprediksi hingga 20-30 persen. Di saat yang bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi dikurangi signifikan.
(Baca: Mantan Ketua KPPU Usul Kemenhub Larang Gojek-Grab Beri Promo Berlebih)
Menurutnya, praktik predatory pricing juga dapat membuat pesaing meninggalkan pasar dan menghalangi pemain yang baru masuk. Pada awal masa kejayaannya, banyak bermunculan alternatif ojek online yang menawarkan keunggulan masing-masing. Mulai dari Uber, Call Jack, Ojekkoe, Topjek, OjekArgo, Taxi Motor, Ladyjek, Bangjek, Blujek, Smartjek. Seiring dengan berjalannya persaingan, hanya Grab dan Gojek yang berhasil bertahan hingga saat ini. Uber dan Blue Bird pun masuk menjadi mitra Grab.
Matinya bisnis transportasi online ini karena perusahaan kelas kakap (Gojek dan Grab) memberikan promosi besar-besaran. Gojek mengeluarkan promosi tarif Rp 10 ribu ke mana saja, hingga diskon 50 persen bagi yang bertransaksi menggunakan Gopay. Sementara Grab memberikan kupon gratis pejalanan dan diskon.
“Hanya enam bulan pertama kami beroperasi. Semakin lama semakin turun konsumen karena dihantam berbagai promo oleh pesaing besar,” ujar Lucia Liemesak, Direktur Ladyjek, sebagaimana dikutip dari Tirto.
(Baca: Survei RISED: Mayoritas Konsumen Tolak Kenaikan Tarif Ojek Online)
Haryadin mengatakan apabila perang tarif ini diteruskan, maka akan membunuh salah satu dari dua pemain yang ada saat ini. Perusahaan yang mampu bertahan adalah yang memiliki pendanaan kuat. “Persaingan transportasi online di Indonesia dalam kondisi rawan atau lampu kuning” ujarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, VP Corporate Affairs Gojek, Michael Say menegaskan perang tarif ini memiliki efek terhadap keberlangsungan bisnis. Aplikator yang terlalu sering memberikan diskon atau promo, akan berdampak negatif pada kinerja keuangan perusahaan.
“Ini kan sementara. Kalau diskon-diskon terus, tidak sustainable bisnisnya. Bukan kami anti diskon, tetapi kami harapkan sesuatu yang lebih sustainable,” kata Michael.
(Baca: Kemenhub Batalkan Larangan Diskon Tarif Ojol)
Upaya Mencegah Praktik Predatory Pricing
Mengutip channelnewsasia.com, Grab di Singapura menyiapkan dana sebesar US$ 2,5 miliar untuk perang promosi. Perusahaan ini tidak takut kehilangan uang besar, karena tujuannya untuk melindungi pangsa pasarnya. Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS) bersiap untuk mencegah adanya praktik predatory pricing sehingga tidak menghilangkan persaingan yang baru lahir.
Beberapa lama kemudian pascaakuisisi, Grab memainkan harga yang menyebabkan tarif naik dan menurunkan insentif kepada mitra pengemudi. Tindakan ini membuat Grab dikenakan denda sebesar Rp 140 miliar oleh CCCS.
Di Indonesia saat mengendus terjadinya kembali praktik tarif predator, Kemenhub mewacanakan adanya regulasi tentang pemberian diskon atau promo bagi transportasi online. Diskon besar-besaran itu dinilai merusak harga pasar dan menekan bisnis pesaingnya sesama penyedia layanan transportasi online, bahkan jasa transportasi konvensional.
(Baca: Kemenhub Gandeng KPPU dan BI Kaji Aturan Diskon Tarif Ojek Online)
Meski begitu, Kemenhub membatalkan larangan penerapan diskon atau tarif promo yang telah diwacanakan. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi menjelaskan bahwa permasalahan tarif diskon ini diserahkan ke KPPU. Budi mengatakan aplikator boleh menerapkan promo atau diskon tarif ojek online dengan syarat. Syaratnya, tidak boleh melanggar ketentuan tarif batas atas dan bawah yang telah diatur pemerintah.
Sebagai ekonom, Haryandi menyarankan KPPU mengawasi lebih ketat persaingan dua perusahaan besar transportasi online ini. Sementara Ketua KPPU Kurnia Toha mengaku telah melakukan penelitian terkait praktik persaingan harga di transportasi online. Dia juga telah meminta Divisi Penegakan Hukum KPPU memantau dan menindaklanjuti perang tarif dan potensi monopoli yang akan terjadi.
“Selama ini, pengertian diskon itu jor-jor-an. Jadi kemudian potensinya adalah predatory pricing, bukan lagi marketing,” kata Kurnia di Kemenhub, Jakarta (11/6).