Sejumlah maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesian Air Carrier Association (INACA) akan menggelar rapat dengan Pertamina Aviation dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk membahas penyesuaian harga avtur, Rabu (16/1). Jika harga avtur dapat diturunkan, biaya operasional maskapai penerbangan bisa ditekan sehingga maskapai bisa menurunkan harga tiket.
Ketua Umum INACA Ari Askhara mengatakan, maskapai penerbangan mendapat harga avtur yang lebih tinggi secara rata-rata sebesar 2% untuk penerbangan domestik ketimbang rute internasional. Apabila harga avtur dapat diturunkan, maskapai dapat mempertimbangkan penurunan tarif.
Meski demikian, Ari mengaku tidak dapat memaksa Pertamina untuk serta merta menurunkan biaya bahan bakar tersebut. "Fasilitatornya nanti Kemenhub," kata Ari yang juga menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, di Jakarta, Selasa (15/1).
Ari menyebutkan, komponen bahan bakar memegang porsi terbesar dalam operasional penerbangan, yakni 40-45%. Oleh sebab itu, dengan kenaikan harga minyak yang sempat terjadi tahun lalu, maskapai harus melakukan penyesuaian. "Karena struktur biaya penerbangan kompetitif," ujar dia.
Biaya lain yang menjadi beban adalah biaya leasing pesawat yang komponen bebannya mencapai 20%. Ari mengatakan ada kecenderungan oligopoli lantaran 80% perusahaan leasing pesawat ini dikuasai Amerika Serikat (AS) dan Eropa sehingga operator sulit mendapatkan harga yang kompetitif. "Hanya baru-baru ini saja perusahaan Tiongkok dan Jepang masuk dengan suku bunga rendah. Tapi aksesnya tidak sebesar AS dan Eropa," kata dia.
(Baca: Jonan Usul Pengurangan Pajak agar Harga Avtur Kompetitif)
Biaya Perawatan Pesawat
Hal yang sama juga terjadi pada biaya perawatan yang berkontribusi 10% terhadap biaya operasional maskapai. Hal ini lantaran pesawat didominasi dua pabrikan saja, yakni Airbus dan Boeing sehingga lisensi perawatan dikuasai kedua produsen pesawat tersebut. "Jadi, pasarnya oligopoli," kata Ari.
Sementara itu, Direktur Utama Citilink Juliandra Nurtjahjo mengatakan, tahun lalu merupakan waktu yang berat untuk Citilink. Sepanjang 2018 rata-rata harga avtur yang digunakan mencapai US$ 0,65 per liter atau naik 18,18% dari 2017 senilai US$ 0,55 per liter.
"Setiap kenaikan US$ 1 sen menambah beban kami US$ 4,7 juta," kata Juliandra.
Adapun, setiap rupiah melemah Rp 100 per dolar Amerika Serikat (AS) akan mengurangi potensi pendapatan Citilink sebesar US$ 5,3 juta. Juliandra mengatakan, fluktuasi rupiah, kenaikan harga minyak, ditambah sedikit biaya bandara membuat beban operasional Citilink membengkak sekitar US$ 102 juta. "Ini yang cukup berat," kata Juliandra.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, tidak ada aturan yang dilanggar maskapai dalam kenaikan tarif tiket pesawat. Namun, maskapai penerbangan terlambat menyesuaikan tarif ketika harga minyak dunia naik dan rupiah melemah terhadap dolar AS. "Hanya cara menaikkannya saja yang tidak tepat," kata Agus. Hal ini menyebabkan kenaikan tiket pesawat tidak dapat diterima oleh masyarakat.
(Baca: Maskapai Penerbangan Sepakat Turunkan Harga Tiket Pesawat)