Cek Data: Bagaimana Kekayaan Indonesia Meroket di Era Jokowi?

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.
Gedung bertingkat dan pemukiman warga terlihat dari kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (5/5/2023).
Penulis: Reza Pahlevi
26/6/2023, 07.55 WIB

Sebuah unggahan di Instagram membandingkan peningkatan kekayaan negara pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut unggahan tersebut, kekayaan negara meningkat tiga kali lipat selama periode Jokowi. Benarkah kekayaan negara meroket?

Kontroversi

Dalam unggahan di Instagram, CNBC Indonesia mengacu pada data aset pemerintah pusat sebagai pembanding kekayaan negara di dua era pemerintahan. Data menunjukkan terjadi kenaikan tiga kali lipat, yakni dari Rp3.910 triliun pada akhir pemerintahan SBY menjadi Rp11.454 triliun pada 2021.  

“Total aset negara berada dalam tren yang meningkat sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Jokowi,” tulis unggahan @cnbcindonesia tersebut pada 8 Juni 2023.

Hingga 25 Juni 2023, unggahan tersebut telah mendapat 7.915 likes. Selain itu, total ada 982 komentar terhadap unggahan tersebut.

Faktanya

Data kekayaan negara yang dipakai CNBC Indonesia tersedia dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang rutin dipublikasikan setiap tahun sejak 2004. Data tersebut berasal dari data aset dapat dilihat di bagian neraca.

Namun perlu dipahami bahwa neraca aset merupakan penjumlahan dari ekuitas (modal) dan likuiditas atau kewajiban. Di dalam LKPP, kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah.

Dari neraca ini, aset dapat disebut sebagai kekayaan meski bukan kekayaan bersih. Kekayaan bersih adalah nilai aset setelah dikurangi utang. 

Jika menggunakan data total aset tersebut, kekayaan pemerintah memang melonjak hampir tiga kali lipat sejak 2014 seperti kata CNBC Indonesia. Jumlah aset ini meningkat dari Rp3.910 triliun pada 2014 menjadi Rp11.454 triliun pada 2021. Pada 2022, nilai aset bahkan bertambah menjadi Rp12.271,5 triliun.

Meski begitu, data total ini tidak menggambarkan keseluruhan fakta. Hal ini karena peningkatan aset terutama didorong naiknya liabilitas atau utang. Total liabilitas bertambah sebesar Rp5.843,5 triliun pada periode 2014-2022.

Sementara, ekuitas atau modal hanya meningkat sebesar Rp2.517,06 pada periode yang sama. Dari Rp1.012,54 triliun pada 2014 menjadi Rp3.529,6 triliun pada 2022.

Ada anomali kenaikan ekuitas pada 2019. Hal ini berkat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kembali Barang Milik Negara (BMN). Penilaian kembali atau revaluasi aset negara ini berdampak pada peningkatan nilai ekuitas negara.

Tanpa revaluasi aset, ekuitas negara sebenarnya mengalami tren penurunan selama periode pemerintahan Jokowi. Hal ini terlihat dari ekuitas yang menurun pada 2015-2018 dan 2019-2022. 

Adapun jika dihitung persentasenya, pertumbuhan aset pada periode pemerintahan SBY lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan aset era Jokowi. Pertumbuhan ini membandingkan posisi aset pada 2004 dengan nilai aset pada 2014 ketika pemerintahan SBY berakhir.

Dari segi ekuitas negara juga berhasil meningkat dari minus Rp497,15 triliun pada 2004 menjadi Rp1.012,5 triliun pada 2014. Minusnya ekuitas ini disebabkan oleh utang yang harus dibayar pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan aset.

Laporan Tempo pada 2005 mencatat ekuitas negatif ini karena pemerintah belum selesai merevaluasi seluruh aset milik negara. Departemen Keuangan bahkan menyebut masih ada aset yang dinilai Rp1.

Pertumbuhan liabilitas pemerintahan era SBY juga lebih rendah dibandingkan dengan era Jokowi, yaitu sebesar 114,85%. Utang ini meningkat dari Rp1.349 triliun pada 2004 menjadi Rp2.898,4 triliun pada 2014.

Sementara, pertumbuhan liabilitas Jokowi lebih besar yaitu 201,6%, dari Rp2.898,4 triliun pada 2004 menjadi Rp8.741,9 triliun pada 2022. Adapun proporsi liabilitas sebesar 2,5 kali dari ekuitas negara.

Lantas, apakah posisi liabilitas tinggi ini berbahaya? Per April 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut posisi utang pemerintah berada di angka Rp7.849,8 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 38,15%.

Rasio utang terhadap PDB tersebut masih lebih rendah dari rasio utang terhadap PDB negara-negara berkembang dan kelas menengah yang sebesar 68,84% menurut Dana Moneter Internasional (IMF).

Lembaga pemeringkat kredit Fitch Ratings juga memberi peringkat BBB dengan outlook stabil untuk kualitas kredit Indonesia pada 14 Desember 2022. Peringkat BBB berarti ekspektasi risiko gagal bayar utang masih rendah. 

Referensi

Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan. LKPP – Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. (Akses 15 Juni 2023)

JDIH. 2017. “Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK.06/2017: Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kembali Barang Milik Negara. (Akses 15 Juni 2023)

Koran Tempo. 14 November 2005. “Kekayaan Negara Negatif Rp 497 Triliun”. (Akses 19 Juni 2023)

International Monetary Fund. 2023. “Fiscal monitor”. (Akses 19 Juni 2023)

Fitch Ratings. 14 Desember 2022. “Fitch Affirms Indonesia at 'BBB'; Outlook Stable”. (Akses 19 Juni 2023)

---------------

Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id.