Kementerian Perdagangan akan menggelar sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Nomor 80 Tahun 2019 tentang perdagangan melalui sistem elektronik alias PP E-commerce tanggal 9 Desember 2019 mendatang.
Dalam forum tersebut, Kemendag akan menyampaikan poin aturan dan rencana regulasi turunannya. “Nanti Pak Menteri (Perdagangan) yang akan sampaikan,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Suhanto di Jakarta, Rabu (4/12).
(Baca: Asosiasi E-Commerce Khawatir Pedagang Online Wajib Berizin Usaha)
Suhanto menjelaskan aturan terbaru ini dikeluarkan guna mewujudkan keseimbangan antara bisnis online dan offline. Apalagi banyak pihak beranggapan penjual dalam jaringan tampak liar karena bisa bebas pajak.
Sedangkan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan ketentuan ini tak hanya dimaksudkan untuk mencatat pajak pelaku usaha. Ketentuan tersebut juga dimaksudkan agar identitas seluruh penjual di platform e-commerce Indonesia jelas.
Jika tak ada ketentuan tersebut, bisa saja pelaku usaha di Indonesia ternyata orang asing. "Kita bisa dirugikan. Ini kan juga tidak baik untuk usaha kita," kata Agus di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/12).
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) juga meminta pemerintah menjelaskan tujuan dari kebijakan ini. Jika tujuannya untuk meningkatkan perlindungan konsumen, menurutnya tidak masalah.
Namun, jika hal ini bertujuan hanya untuk menarik pajak, ia khawatir pedagang online akan terpengaruh. "Kalau ke depannya ada kewajiban lapor pajak atau keuangan, repot. Ada potensi ekonomi yang akan hilang," ujar Ketua idEA Ignatius Untung kepada Katadata.co.id, Rabu (4/12).
(Baca: Bukalapak dan Tokopedia Sebut PP E-Commerce Jadi Tantangan UMKM)
Pasal Janggal
Ignatius juga mengkhawatirkan PP tersebut bisa menakuti pedagang online dalam berjualan. Pasalnya ada sejumlah pasal dan ayat yang masih janggal dan minim penjelasan rinci.
Ia memberi contoh Pasal 10 aturan tersebut sangat multitafsir lantaran tak jelas instansi mana yang memberikan izin keamanan pelapak online. "Aturan besar ini tidak memiliki rincian, bisa multitafsir, bahaya dan berisiko,” katanya.
Ignatius melanjutkan, Pasal 12 yang mengatur kewajiban perdagangan produk dalam negeri sulit dijalankan. Apalagi dalam aturan tersebut tak mewajibkan penjual memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) ataupun Standar Nasional Indonesia (SNI).
Dia juga mengingatkan pemerintah agar tidak membedakan pasar lokal maupun asing karena platform e-commerce memiliki sifat terbuka. “Saya rasa pasal itu tidak perlu," ujarnya.
Ignatius juga mengkritisi Pasal 15 yang mewajibkan pelaku usaha online memiliki izin usaha. Padahal tidak semua pedagang e-commerce merupakan pelaku usaha. Ia mencontohkan, seseorang mendapat hadiah televisi lalu menjualnya di platform e-commerce tak bisa dikatakan sebagai pengusaha. “Ini agak complicated dan harus jelas,” ujarnya.
(Baca: PP E-Commerce Terbit, Konsumen Bisa Mengadu ke Mendag jika Dirugikan)
Begitu pula Pasal 18 yang menurutnya perlu dirinci lebih dalam tata caranya agar konsumen tidak bingung. Padahal Ignatius menganggap pasal ini bagus karena konsumen yang dirugikan dalam transaksi e-commerce dapat melapor ke menteri.
“Kalau aturan ini sudah terbit tetapi turunannya (aturan) tidak dipersiapkan, hanya jadi angan-angan saja," ujarnya.