Hingga penghujung 2018, Peraturan Pemerintah terkait e-commerce masih berupa rancangan. Padahal, rencana pemerintah untuk membuat regulasi soal perdagangan daring ini sudah bergulir sejak tiga tahun lalu.
Di antara poin yang dikaji adalah rencana pemerintah untuk menarik pajak dari transaksi e-commerce. Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengingatkan agar pemerintah berlaku adil.
Artinya, jika transaksi pada e-commerce lokal ada dikenai pajak, maka pembelian dari platform e-commerce asing, atau bahkan media sosial seperti Facebook atau Instagram juga harus diperlakukan sama. "Intinya asal adil memenuhi syarat level playing field kami siap dukung," kata Ignatius kepada Katadata, Kamis (27/12).
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) E-Commerce memang sudah dikaji sejak 2015 lalu. Pada Agustus 2018, pemerintah kembali intensif mengkaji RPP tersebut. Namun, hingga kini aturan tersebut belum juga terbit.
"Semua isinya sama persis dengan draft yang disampaikan," ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin beberapa waktu lalu.
(Baca: Kilas Balik E-Commerce 2018: Tokopedia dan Bukalapak Terus Mendominasi)
Selain soal pajak, ia menyebutkan, kebijakan terkait barang yang diperdagangkan di e-commerce disamakan dengan peraturan yang berlaku untuk perdagangan konvensional, termasuk kewajiban memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 60% dan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Di antara 14 poin yang akan diatur itu termasuk pihak yang melakukan, penyelenggara, dan persyaratan untuk menyelenggarakan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Selain itu, ada kewajiban bagi pelaku usaha dan ketentuan soal pembuktian transaksi.
Lalu, diatur juga masalah iklan, penawaran, penerimaan, dan konfirmasi secara elektronik. Poin selanjutnya adalah tentang aturan tentang perlindungan data pribadi, pembayaran, pengiriman, dan penukaran barang/jasa. Terakhir, Paraturan Pemerintah ini nantinya juga mengatur perihal penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan.
Setelah Peraturan Pemerintah ini terbit, Kementerian Perdagangan (Kemendag) bakal merilis aturan teknis. Di antaranya adalah kewajiban penyelenggara e-commerce untuk memiliki akun penampung dana atau escrow account di perbankan guna menjamin kesesuaian antara spesifikasi barang yang ditawarkan dengan yang diterima konsumen.
(Baca: Marak E-Commerce, Permintaan Ruang Mal Terus Turun)
Di samping itu, Rudy sempat menyampaikan bahwa ada beberapa kebijakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang peta jalan (road map) e-commerce yang sudah tidak relevan lagi. "Keluaran yang sudah ada tidak semua kami penuhi, karena di tengah jalan banyak isu baru yang muncul. Maka ada empat usulan baru," ujar Rudy.
Keempat kebijakan baru tersebut di antaranya: perlindungan data; transaksi lintas batas (cross border); barang dan jasa digital; serta penguatan daya saing produk local dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Nah, keempat hal ini rencananya akan diatur juga di RPP E-Commerce.
Kemudian untuk meningkatkan penjualan produk lokal di e-commerce, Kemendag mengkaji berbagai skema. Salah satunya, memberikan insentif kepada pelaku usaha yang menyediakan produk lokal di lapak digitalnya. "Tapi lebih baik dikonsultasikan ke Kementerian Keuangan karena mereka yang lebih tahu," kata Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kemendag I Gusti Ketut Astawa.
Skema untuk meningkatkan jumlah produk lokal di e-commerce nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), setelah RPP e-commerce terbit. Untuk itu, ia mengkaji model bisnis e-commerce. "Kalau offline, kami pakai prosentase (untuk produk lokal). Nah, kami kaji lagi apakah pola di offline ini bisa diterapkan di online tidak," katanya.