McKinsey: Pasar E-Commerce RI Melonjak Jadi Rp 910 Triliun pada 2022

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Pekerja memilah paket barang di gudang logistik TIKI di kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
31/8/2018, 16.25 WIB

Kedua, membuka akses ekspor bagi barang industri kreatif. Sektor perhiasan di Indonesia salah satu yang sudah menikmati hasilnya, dengan melibatkan distributor di luar negeri, seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS). Philia memperkirakan, kanal perdagangan daring ini menyumbang ekspor US$ 26 miliar atau Rp 364 triliun pada 2022.

Ketiga, mendorong tenciptanya lapangan pekerjaan. Saat ini, perdagangan online menyokong empat juta pekerjaan di Indonesia. McKinsey memproyeksikan, jumlahnya bisa 26 juta pada 2022.

Secara kusus, e-commerce turut mendorong tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Setidaknya, usaha yang dikelola perempuan bakal berkontribusi 35% terhadap total transaksi e-commerce di 2022.

(Baca juga: Tokopedia dan Bukalapak Kalahkan Lazada pada Kuartal II 2018)

Terakhir, meningkatkan kesetaraan sosial. Sebab, konsumen di daerah terpencil di luar Jawa bisa mendapatkan pilihan produk yang lebih beragam dan harga yang lebih murah. Ia mencatat, rata-rata harga barang yang diperdagangkan lewat online lebih rendah 11-25% dibanding peritel tradisional.

Hanya, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk tumbuh-kembang e-commerce. Pertama, membangun ekosistem seperti pelaku seperti Shopee, Tokopedia, dan yang lainnya; Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); penyedia logistik; layanan keuangan, investor; dan pemerintah. Apalagi, McKinsey memperkirakan 1,6 miliar paket yang ditransaksikan lewat e-commerce dikirim per tahun pada 2022.

Kedua, perlu pendampingan kepada UMKM, khususnya dalam mengatur sistem pemesanan dan pembayaran online. Saat ini, hanya 15% UMKM yang berdagang secara online yang menyediakan fasilitas tersebut. Bila hal ini tidak diatasi, akan menghambat tingkat kompetitif ekspor.

Tantangan lainnya, adalah talenta di bidang teknologi. Indonesia hanya mencetak 0,8% lulusan sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) untuk setiap 1.000 anggota masyarakat. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding Tiongkok yang 3,4% dan India 2%. Tanpa ketersediaan pekerja terampil yang lebih banyak, pertumbuhan perdagangan online di Indonesia akan terhambat.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati