Indonesia menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tahun lalu, yang juga menyinggung perdagangan di e-commerce. Ekonom menilai, hal ini membuat Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang berjualan online menghadapi tiga tantangan.
RCEP diikuti oleh sepuluh negara ASEAN, Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Tiongkok. Negara-negara ini mewakili 29,6% populasi, 27,4% perdagangan, 30,2% produk domestik bruto (PDB), dan 29,8% investasi asing langsung di dunia.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai, Indonesia beberapa kali membuka akses perdagangan bebas lintas negara melalui perjanjian dagang, termasuk RCEP. Namun, menurutnya UMKM kurang diperhatikan.
"Pemerintah asyik buka pintu, tetapi tidak cukup menyiapkan industri dalam negeri,” kata Piter dalam diskusi virtual bertajuk ‘Bedah Bab Perdagangan Jasa dan E-Commerce dalam RCEP’, Jumat (19/3).
Dalam diskusi itu, setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi oleh UMKM yang berjualan online, akibat RCEP. Pertama, perjanjian ini dikhawatirkan mendorong banyaknya produk impor masuk, terutama di e-commerce.
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) belum mempunyai data mengenai porsi produk impor di e-commerce. Sedangkan Bank Indonesia (BI) memperkirakan, transaksi e-commerce naik 33,2% dari Rp 266,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 337 triliun tahun ini.
Pada 2019, Kementerian Perindustrian pernah menyatakan bahwa 90% produk yang dijual di e-commerce merupakan impor. Hal serupa sempat disampaikan oleh Kementerian Perdagangan pada 2018.
Namun, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) membantah bahwa produk impor menguasai platform marketplace di Tanah Air. Mereka mencatat, barang per paket yang penjualnya berasal dari luar negeri hanya 0,42 %.
Berdasarkan laporan JP Morgan berjudul ‘E-Commerce Payments Trend: Indonesia’ pada 2019 pun menunjukkan, hanya 7% konsumen yang membeli produk impor di e-commerce. Namun, penjualan lintas-batas berkontribusi 20%.
Tantangan kedua, praktik predatory pricing. Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah atau di bawah rerata pasar, dalam jangka waktu tertentu.
"Ini strategi perusahaan yang mendominasi pasar untuk memenangkan persaingan dengan menurunkan harga, sehingga pesaingnya tidak mampu bertahan," kata Piter.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan bahwa ada penjual dari luar negeri yang menjual hijab Rp 1.900 per potong di e-commerce Tanah Air. Harga ini jauh di bawah ongkos produksi yang dianggap menciptakan nilai tambah bagi perekonomian.
Oleh karena itu, Kemendag berencana membuat aturan terkait diskon di e-commerce guna mengantisipasi praktik yang dapat membunuh UMKM lokal.
Tantangan ketiga, keamanan data konsumen lintas negara. Peneliti Institute for Global Justic (IGJ) Olisias Gultom menilai, ini perlu menjadi perhatian dalam konteks perjanjian perdagangan lintas negara.
Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Mariam F Barata mengatakan, pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Ini untuk memastikan keamanan pertukaran data lintas negara.
Selain itu, pemerintah dan DPR sedang dalam tahap penyelesaian regulasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). “Apabila ada pertukaran data, semua data orang Indonesia dilindungi dan dijaga kerahasiaannya," ujar Mariam.