Viral di Jagat Maya, Benarkah Produk Impor Kuasai E-Commerce
- Tagar #ShopeeBunuhUMKM, #SellerAsingBunuhUMKM, dan Mr Hu viral di Twitter
- Shopee mengklaim, hanya 0,1% penjual lintas negara di platform
- Kementerian Perindustrian pernah menyebut bahwa 90 % produk yang dijual di e-commerce merupakan impor
Tagar #ShopeeBunuhUMKM, #SellerAsingBunuhUMKM, dan Mr Hu masuk topik populer di Twitter belakangan ini. Warganet menyoroti banyaknya penjualan produk impor di e-commerce. Namun, apakah benar barang impor mendominasi di platform marketplace seperti dalam trending topic tersebut?
Ketiga kata kunci itu populer setelah beberapa warganet mengunggah gambar produk yang mereka beli di e-commerce. Pada paket tertulis nama pengirim Mr Hu, yang alamatnya di Shangxue Industrial Park, Guangdong, Tiongkok.
Warganet lainnya mengomentari banyaknya pengguna yang membeli produk impor di e-commerce. Influencer Tirta Mandira Hudi atau dikenal dokter Tirta pun ikut berkomentar, dan menilai kondisi ini bisa membunuh bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Meski begitu, perwakilan Shopee Indonesia menegaskan bahwa 98,1 % dari empat juta penjual aktif di platform merupakan UMKM. Hanya 0,1 % yang merupakan pedagang lintas negara.
Produk dari penjual lokal masih mendominasi di Shopee yakni 97 %. Secara rinci, penjualan produk UMKM di dalam ekosistem 71,4 %, lintas negara 3 %, dan sisanya pedagang besar lokal.
Head of Public Policy and Government Relations Shopee Indonesia Radityo Triatmojo mengatakan, perusahaan berkomitmen mendukung pertumbuhan dan keberlangsungan bisnis UMKM Indonesia. “Dengan memberikan sorotan khusus melalui inisiatif dan inovasi yang dihadirkan sejak awal Shopee berdiri,” kata Radityo dalam siaran pers, Jumat (19/2).
Lalu, bagaimana dengan data pemerintah? Badan Pusat Statistik (BPS) sebenarnya sudah meminta penyelenggara e-commerce untuk berbagi data sejak 2017.
Namun, BPS masih menyusun aturan teknis terkait pengumpulan data transaksi e-commerce. Ini merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
BPS pun tengah membangun sistem agar penyelenggara e-commerce bisa memasukkan data. Sistem ini ditargetkan rampung pada bulan depan.
Alhasil, sejauh ini BPS baru mempunyai data transaksi e-commerce per 2019. Data jumlah penjual di tiap-tiap daerah misalnya, dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
BPS juga mencatat, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp 439 triliun pada 2017. Namun, lembaga negara ini tidak memerinci porsi produk impor.
Sedangkan Bank Indonesia memperkirakan, transaksi e-commerce naik 33,2 % dari Rp 266,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 337 triliun tahun ini. Rinciannya sebagai berikut:
Meski begitu, pada 2019, Kementerian Perindustrian pernah menyatakan bahwa 90 % produk yang dijual di e-commerce merupakan impor. Hal serupa sempat disampaikan oleh Kementerian Perdagangan pada 2018.
Sedangkan mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio sempat mengeluhkan sulitnya mendorong konsumen untuk memakai produk busana lokal. “Kuliner, upayanya tidak terlalu berat. Kalau kriya dan fashion, warga Indonesia terkadang masih suka produk luar negeri,” katanya dalam seminar virtual bertajuk ‘Festival Usaha Milik Kaum Milenial’, Oktober tahun lalu (26/10/2020).
Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) terbaru, 34,2% konsumen menyukai pakaian impor. Sedangkan 42,9% menggemari sepatu dari luar negeri.
Bahkan, 61,7 % responden memilih barang elektronik impor. Selain itu, 75,4 % menyukai gadget buatan luar negeri ketimbang lokal.
Riset bertajuk ‘Perilaku Belanja Konsumen Indonesia’ itu mengacu pada hasil survei terhadap 6.697 responden usia 17-65 tahun. Survei dilakukan selama 13-17 Oktober 2020.
Sedangkan riset KIC dan Kredivo sebelumnya menunjukkan, produk busana berkontribusi 30 % terhadap total transaksi di e-commerce. Begitu juga dengan sepatu yang masuk kategori aksesori fashion.
Busana masih menempati posisi teratas dari sisi penjualan di e-commerce sejak 2016 lalu, sebagaimana Databoks di bawah ini:
Namun, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) membantah bahwa produk impor menguasai platform marketplace di Tanah Air. Mereka mencatat, barang per paket yang penjualnya berasal dari luar negeri hanya 0,42 %.
Berdasarkan laporan JP Morgan berjudul ‘E-Commerce Payments Trend: Indonesia’ pada 2019 pun menunjukkan, hanya 7 % konsumen yang membeli produk impor di e-commerce. Namun, penjualan lintas-batas berkontribusi 20 %.
Barang impor yang dibeli melalui e-commerce paling banyak dari Tiongkok, kemudian Singapura dan Jepang. Namun, JP Morgan tidak memerinci nilainya.
Shopee sudah menjabarkan rincian angka penjual lintas negara dan produk UMKM di platform. Sedangkan Tokopedia mengatakan, hampir seluruhnya dari 9,9 juta mitra pedagang merupakan UMKM.
Akan tetapi, peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menyoroti banyaknya pengecer atau reseller di e-commerce. Angkanya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
“Perkiraan saya, produk lokal hanya 4-5 % saja pangsa pasarnya di platform," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Kamis (18/2). Ini mempertimbangkan banyaknya reseller yang menjual barang impor, meski terhitung sebagai pedagang lokal.
Upaya Menahan Impor dan Dorong Ekspor Produk UMKM
Kendati belum ada data spesifik terkait porsi barang impor, Menteri Koperasi dan UKM Tetan Masduki meminta penjelasan Shopee terkait fenomena Mr Hu. Pada kesempatan ini, Teten juga menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen mengembangkan UMKM dan mendorong produk lokal.
"Kami berkomitmen melindungi kepentingan nasional yaitu UMKM. Jika diperlukan, kami akan mendorong diterbitkannya kebijakan pemerintah untuk melindungi UMKM dari praktik perdagangan yang tidak adil," kata Teten usai pertemuan di Jakarta, dikutip dari siaran pers, Jumat (19/2)
Kementerian pun bakal mengambil langkah mitigasi terhadap aktivitas perdagangan lintas negara. KemenkopUKM telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk mengecek kepatuhan seluruh penyedia marketplace terhadap ketentuan PMSE.
Pemerintah juga sudah menerapkan beberapa aturan untuk menahan masuknya barang impor di e-commerce. Salah satunya, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 yang menurunkan ambang batas bea masuk barang kiriman dari US$ 75 (Rp 1,06 juta) menjadi US$ 3 (Rp 42 ribu).
Dengan begitu, barang impor di atas US$ 3 dikenakan pajak 17,5 %. Ini terdiri dari bea masuk 7,5 %, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 %, dan Pajak Penghasilan (PPh) 0 %.
Selain itu, menerapkan program anti-splitting sejak 2018. Splitting merupakan upaya yang dilakukan importir dengan memecah transaksi pembelian barang dari luar negeri agar bebas dari bea masuk.
Kementerian Perdagangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga. Regulasi berlaku sejak akhir Agustus tahun lalu (28/8/2020).
Pemerintah juga menggencarkan pelatihan untuk UMKM. Lalu, meningkatkan akses pasar lewat program Bangga Buatan Indonesia, yang mengalokasikan 40 % belanja barang dan jasa kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah kepada UMKM.
Peneliti Indef Nailul mengatakan, ada banyak kendala yang dihadapi UMKM untuk tumbuh dan berkembang, seperti keterbatasan akses teknologi dan inefisiensi produksi. Ini membuat harganya kalah saing dibandingkan produk impor.
Sedangkan masyarakat Indonesia sensitif terhadap harga. “Konsumen memilih toko yang menawarkan produk dengan harga termurah, baik dari sisi barang maupun ongkos kirimnya,” kata dia.
Oleh karena itu, Nailul mengusulkan para penyelenggara platform untuk memberikan ‘privilege’ bagi pelaku UMKM. “Mendorong platform lokal untuk memberikan space untuk produk UMKM, dengan penawaran khusus,” kata dia.
Di satu sisi, beberapa e-commerce mendorong ekspor produk UMKM. Bukalapak misalnya, menggelar BukaGlobal sejak medio 2019. Lewat layanan ini, pengguna di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, dan Taiwan bisa membeli barang buatan Indonesia.
Shopee juga menggelar Kreasi Nusantara dari Lokal untuk Global, guna memasarkan produk UMKM binaan ke Singapura, Malaysia, dan negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun lalu, ada 20 UMKM yang mengikuti program ini.