Langkah Mendag Atasi Pendapatan 85% Penjual di E-Commerce yang Anjlok

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak/aww.
Pekerja menata kerajinan rotan Lombok saat pameran Produk Unggulan UMKM Balinusra di Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (24/3/2021).
25/3/2021, 09.19 WIB

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mencatat, 85% penjual di e-commerce mengalami penurunan pendapatan selama pandemi corona. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah gencar berkolaborasi, membuat program pelatihan hingga menyiapkan regulasi.

Ia mengatakan, potensi pasar digital di Tanah Air sangat besar. Saat pandemi Covid-19, pelaku usaha pun mulai beralih ke platform digital seperti e-commerce.

"Sayangnya, tidak sedikit perusahaan, terutama skala kecil dan menengah mengalami penurunan penjualan secara drastis. Ada 85% pelaku di e-commerce yang penghasilannya turun," kata Lutfi saat konferensi pers virtual ‘Bertahan, Bangkit, dan Tumbuhnya UMKM di Tengah Pandemi dengan Adopsi Digital’, Rabu (24/3).

Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) juga mencatat, tingkat keberhasilan UMKM yang mendigitalisasi bisnis hanya sekitar 15%.

Berdasarkan dokumen Bank Dunia bertajuk ‘Targeted SME Financing and Employment Effects’ pada 2017 pun menunjukkan, hanya sekitar 5-10% UKM secara global yang berpotensi tumbuh lebih besar dan produktif, jika dibantu oleh pemerintah.

Ada beberapa penyebab sulitnya UMKM saat mendigitalisasi bisnis seperti minimnya pemahaman terkait teknologi, keterbatasan infrastruktur internet hingga akses pemasaran yang kurang.

Untuk mengatasi persoalan itu, Kemendag menyiapkan berbagai strategi. Pertama, bekerja sama dengan e-commerce untuk membantu UMKM.

Pada tahun lalu, Kemendag menggandeng Tokopedia sebagai mitra strategis dalam program Digitalisasi Pasar Rakyat. Melalui kerja sama ini, Tokopedia memberikan fasilitas ruang promosi dan pembukaan akun pasar rakyat di platform.

Pada 2019, kementerian juga bekerja sama dengan Bukalapak membuat program penyiapan ekspor bagi 1.000 pelaku UMKM.

Kedua, menyiapkan program pelatihan berupa fasilitator edukasi e-commerce serta pendampingan. Ketiga, mengkaji regulasi baru terkait perdagangan di e-commerce.

"Kami kaji dan monitor. Ini agar kebijakan dilakukan secara adil dan merata berikan manfaat bagi UMKM," kata Lutfi.

Sebelumnya, Kemendag mengungkapkan tengah menyiapkan regulasi baru terkait e-commerce. Aturan ini bakal melengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

"Ini masih tahap penyusunan,” kata Kasubdit Informasi Usaha Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kemendag Ivan Fitrianto saat konferensi pers virtual, dua pekan lalu (10/3).

Regulasi itu nantinya mengatur tentang jual-beli, mekanisme pengiriman, pembayaran, iklan, kontrak elektronik hingga pelindungan data pribadi.

Salah satu poin yang menjadi sorotan pemerintah yakni praktik predatory pricing di e-commerce. Menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), predatory pricing merupakan strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah atau di bawah rerata pasar, dalam jangka waktu tertentu.

Sebelumnya, kementerian menyampaikan adanya penjual hijab dari luar negeri seharga Rp 1.900 per potong di e-commerce Tanah Air. Harga ini jauh di bawah ongkos produksi yang dianggap menciptakan nilai tambah bagi perekonomian.

Oleh karena itu, Kemendag berencana membuat aturan terkait diskon di e-commerce guna mengantisipasi praktik yang dapat membunuh UMKM lokal.

Kementerian melakukan investigasi terlebih dulu guna memastikan ada tidaknya praktik predatory pricing yang membunuh UMKM. "Kami harus melihat konsepnya bagaimana? Apakah strategi bisnis semata atau termasuk mematikan UMKM," ujar Ivan. 

Kemendag juga berkoordinasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memastikan ada tidaknya praktik predatory pricing dan kaitannya dengan persaingan usaha di e-commerce.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan