Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima sekitar 3.000 aduan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh aplikasi fintech pinjam-meminjam (lending). Di antara pelanggaran tersebut adalah, penagihan hutang secara tekanan, membocorkan data pribadi pelanggan, hingga pelecehan seksual.
Dona, salah satu pelapor yang hadir dalam diskusi itu menyatakan pernah kehilangan pekerjaan akibat aplikasi fintech lending yang digunakannya. Sebab, pihak penagih hutang mengakses kontak pribadi Dona untuk menghubungi atasannya berkali-kali hingga membuatnya dipecat.
Dona yang pertama kali meminjam sejumlah uang dari Rupiah Plus pun telah mencoba melaporkan kasusnya. “Asosiasi tidak bisa dihubungi, kirim ke Lembaga konsumen tidak direspons. Malah, respons tercepat dari LBH,” kata Dona di kantor LBH Jakarta, Senin (4/2).
Hanya, LBH yang telah membuka kanal pengaduan terkait fintech sejak November 2018 belum dapat menyampaikan detail aduan yang diterimanya. “Harus kita cek lagi, itu masih perkiraan,” ujar Nelson Nikodemus Simamora, salah satu Pengacara LBH Jakarta.
(Baca: OJK Siapkan Fitur Serupa BI Checking untuk Fintech Tahun Ini)
Sebelumnya pada Desember tahun lalu, LBH menyebutkan ada 1.330 aduan terkait kasus pelanggaran fintech lending. Dari 89 aplikasi fintech lending terlapor, 25 di antaranya tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meningkatnya jumlah laporan aduan di pihak LBH dari 1.300 menjadi sekitar 3.000 aduan, menurut Nelson, menunjukkan bahwa belum adanya kejelasan mengenai aturan fintech lending yang ada di Indonesia. Bahkan, ada aplikasi fintech lending terlapor yang telah diblokir dari Google Playstore dapat kembali beroperasi dengan nama dan logo yang sedikit berubah.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan, OJK seharusnya membuat regulasi yang lebih ketat untuk mengatur operasional fintech. “Secepatnya segera dikeluarkan peraturan, khususnya perlindungan data pribadi korban,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan dari pihak LBH, Sunu Widyatmoko, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendaaan Bersama Indonesia (AFPI) berharap pihak LBH dapat memaparkan informasi yang jelas terkait kasus tersebut. Misalnya, nama pihak penyelenggara fintech lending, waktu kejadian peristiwa, serta berbagai detail informasi lainnya.
(Baca: Asosiasi Pendanaan Online Buka Posko Pengaduan Fintech)
Sunu menambahkan, laporan yang disampaikan LBH tersebut belum dipaparkan secara resmi, sehingga pihaknya kesulitan untuk menyelesaikan kasus tersebut. “Menurut saya, tidak ada case karena tidak ada pengaduan secara resmi,” tutup Sunu.