Pada 2008, kebangkrutan Lehman Brothers memicu krisis di Amerika Serikat (AS). Kini, beberapa petinggi bank sentral AS, the Fed khawatir financial technology (fintech) akan menjadi sumber krisis berikutnya.
Banyak pejabat the Fed mewaspadai perusahaan fintech yang kurang kuat manajemen risiko dan perlindungan konsumennya. Apalagi, perusahaan fintech menginginkan aturan yang fleksibel.
"Mereka mungkin ingin akses ke sistem pembayaran, tapi mereka tidak ingin peraturan yang akan ditetapkan dengan (adanya) akses tersebut," ujar Presiden the Fed cabang St Louis James Bullard dikutip dari Reuters, Senin (14/1) waktu AS. "Saya khawatir fintech akan menjadi sumber krisis berikutnya."
Kantor Pengawas Keuangan Mata Uang (Office of the Comptroller of the Currency/OCC) dan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) tengah menjajaki pemberian lisensi seperti bank federal kepada perusahaan fintech yang menawarkan layanan keuangan. Misalnya, lisensi untuk jasa transfer uang dan pemberian pinjaman.
(Baca: Go-Pay Jadi Fintech Pembayaran Paling Populer 2018 di Indonesia)
Rencana tersebut merupakan bagian dari dorongan yang lebih luas oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump, untuk mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta memberikan stimulus pertumbuhan lapangan pekerjaan.
Namun, perusahaan fintech enggan berinvestasi besar-besaran dalam hal ekspansi secara nasional tanpa adanya akses ke sistem pembayaran, dan layanan finansial tanpa harus mendapat izin dari the Fed. The Fed pun memikirkan hal tersebut.
The Fed masih mengkaji apakah akan membiarkan pemain fintech yang saat ini regulasinya masih longgar, bisa mendapat akses tersebut atau tidak.
Sementara, perusahaan seperti PayPal dan LendingClub Corp telah memiliki jutaan pelanggan dengan menawarkan kenyamanan atau bunga yang lebih kompetitif ketimbang bank tradisional. Menurut OCC dan FDIC, perusahaan semacam ini memiliki model bisnis berbiaya rendah yang memungkinkan mereka menjangkau daerah yang sulit dijangkau perbankan konvensional.
Akses langsung inilah yang akan menghilangkan sejumlah komponen biaya dan memungkinkan mereka untuk bersaing lebih efektif dengan bank. "Sulit untuk mengetahui apakah itu layak diterapkan jika Anda tidak tahu akses apa yang Anda miliki ke layanan Fed," kata Ketua Asosiasi Transaksi Elektronik Jason Oxman. Asosiasi ini mewakili fintech dan bank.
(Baca: Tahun Politik, Investor Digital Asing Diprediksi Bakal Wait and See)
Oleh sebab itu, regulator yang mengawasi fintech masih fokus pada perlindungan konsumen seperti membatasi suku bunga, privasi, dan mencegah praktik yang tidak adil atau menipu. Beberapa negara bagian juga mengharuskan fintech untuk mematuhi aturan anti pencucian uang dan menyerahkan rencana bisnis.
Sebagai perbandingan, hampir setiap aspek operasional perbankan tunduk pada pengawasan ketat dan berbagai Undang-Undang (UU) federal dan negara bagian. Hal ini termasuk sejumlah persyaratan modal dan likuiditas; risiko operasional; risiko cyber; risiko vendor; anti pencucian uang; aturan kerahasiaan bank; pinjaman yang adil; dan, pinjaman anti-diskriminasi.
Di satu sisi, beberapa pejabat the Fed gelisah oleh pertumbuhan yang sangat cepat dari fintech. Apalagi, data konsultan EY menunjukkan setengah dari konsumen di AS menggunakan jasa fintech untuk mengirim uang. Sejak 2010 hingga 2017, lebih dari 3.330 fintech baru muncul. Pinjaman yang diberikan pun naik 13 kali lipat selama periode tersebut, menjadi US$ 22 miliar.
Presiden Fed bagian Atlanta Raphael Bostic menyampaikan, instansinya mencoba untuk menjadi fintech hub. Dengan begitu, ia bisa berdiskusi dengan beberapa pelaku fintech. "Hampir tak satu pun dari mereka memiliki (penanggulangan) risiko atas apa yang mereka pikirkan, dan yang membuat saya gugup," ujarnya.
(Baca: Bisnis Ilegal yang Mengusik Kilau Fintech Pembiayaan di Mata Investor)